Selasa, 01 Januari 2008

Saat Presiden Menetapkan Satu dari Tujuh Nama

Menimbang siapa yang akan menjadi pengganti Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), nyatanya lebih rumit daripada memutuskan siapa pengganti Panglima TNI. Paling tidak situasi seperti itulah yang tercermin dalam proses pergantian KSAD, dari Jenderal Djoko Santoso ke penggantinya.

Padahal, sejatinya, pemilihan KSAD merupakan proses internal TNI. Keterlibatan Presiden dalam proses itu merupakan ujud dari fungsinya sebagai Panglima Tertinggi TNI.

Tak heran, lambannya proses pergantian itu berjalan memancing komentar sejumlah pihak. Mulai dari politisi, hingga purnawirawan.Salah satu di antara purnawirawan yang memiliki perhatian terhadap masalah itu adalah Mantan Menhankam/Pangab Jenderal (Purn) Wiranto.

Kemarin dalam sebuah kesempatan, Wiranto mengingatkan agar jangan sampai ada nuansa politis yang masuk dalam pertimbangan pemilihan KSAD.

Bisa jadi, kompleksitas masalah yang muncul dalam pergantian KSAD terjadi lantaran belum ada aturan yang detil menyangkut kriteria calon KSAD. Kapuspen TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen mengungkapkan, dalam UU TNI tidak disebutkan secara detil kriteria yang harus dimiliki calon kepala staf angkatan.

Dalam UU hanya disebutkan, kata dia, bahwa calon kepala staf diajukan oleh Panglima TNI dan diputuskan oleh Presiden berdasarkan hak prerogati yang melekat pada dirinya.

Saat ini sudah ada tujuh nama jenderal bintang tiga di 'kantong' Presiden Yudhoyono. Ketujuh nama itu adalah Letjen Cornel Simbolon, Letjen M Yasin, Letjen Sjafrie Sjamsoeddin, Letjen Agustadi Sangsongko Purnomo, Letjen Bambang Darmono, Letjen Erwin Sudjono, dan Letjen George Toisutta.

Sebagaimana diketahui, dari ketujuh nama tersebut, terdapat dua perwira tinggi dari Akmil lulusan 1973. Keduanya adalah Letjen Cornel Simbolon yang saat ini menjabat sebagai Wakil KSAD dan Letjen M Yasin yang saat ini menempati posisi sebagai Sekjen Dewan Ketahanan Nasional.

M Yasin sendiri diketahui sebagai rekan satu angkatan Presiden Yudhoyono, yang memiliki kedekatan tersendiri dengan Presiden. Tak mengherankan, jika pada dua kali pencalonan pembantu Presiden Yudhoyono, yakni Kepala BIN dan Mendagri, nama perwira tinggi yang akan pensiun pertengahan tahun depan sempat disebut-sebut sebagai salah satu kandidat.

Sementara meninjau dari posisinya, Cornel Simbolon bisa dibilang paling kompeten untuk melaju sebagai KSAD. Karena sesuai tradisi, TNI AD selalu menyiapkan pengisi jabatan Wakil KSAD untuk dipromosikan sebagai KSAD.

Belakangan nama Cornel Simbolon disebut-sebut dicalonkan oleh parpol tertentu untuk menjadi pemimpin sipil sebuah provinsi itu. Sebelum menjabat Wakil KSAD, Cornel memenang posisi Dankodiklat. Dia dipromosikan sebagai Wakil KSAD pada 19 November 2007.

Sebagai lulusan Akmi 1973, keduanya memang tergolong senior dari segi usia, dibanding kandidat KSAD lainnya. M Yasin lahir di Tasikmalaya pada 13 September 1995. Sedangkan Cornel lahir Juni 1951.

Dihitung dari usia, maka masa tugas keduanya sudah akan berakhir pada akhir dan pertengahan 2008. Bukan tak mungkin, alasan itulah yang paling dipertimbangkan Presiden terkait pencalonan kedua sosok itu.

Selain wakil dari Akmil 73, bursa kandidat pengganti KSAD sekarang diisi oleh para perwira tinggi lulusan Akmil 74. Jumlah alumnus 74 ini cukup mendominasi, yakni tiga orang.

Mereka masing-masing adalah Letjen Bambang Darmono yang kini menjadi Dankodiklat, Letjen Sjafrie Sjamsoeddin (Sekjen Dephan), dan Letjen Agustadi Sasongko Purnomo (Sesmenko Polhukam).

Dari seluruh nama itu, hanya Letjen Bambang Darmono yang memiliki jabatan di dalam struktur Markas Besar TNI-AD. Hal itu menjadi penting karena di masa lalu ada semacam tradisi yang menyebut, calon pengganti KSAD selalu berasal dari pejabat di lingkungan Mabes TNI-AD. Bukan mereka yang berkarir di luar kesatuan.

Seperti halnya Cornel Simbolon, Bambang Darmono memang relatif baru menempati posnya. Perwira tinggi kelahiran 4 Mei 1952 yang sebelumnya menjabat Asops Kasum TNI, yang pada 29 Oktober 2007 dilantik menjadi Dankodiklat. Bambang sempat mengemban kepercayaan untuk jabatan Pangkoops TNI di Aceh, pada masa pemberlakuan darurat militer.

Menggaruk dekat luka


Calon berikutnya adalah Letjen Sjafrie Sjamsoeddin. Dari segi popularitas, perwira tinggi dari Kopassus ini boleh dikatakan cukup dikenal publik. Terutama sejak dirinya menjabat sebagai Pangdam Jaya, pada1998.

Tapi pada saat itu pulalah, karir Sjafrie sempat "diganjal' oleh tudingan pelanggaran HAM. Hanya saja, belakangan baik sebagian besar birokrat maupun DPR sepakat bahwa tidak ada indikasi pelanggaran HAM dalam kasus yang disebut melibatkan Sjafrie.

Tak mengherankan, nama mantan Kepala Pusat Penerangan TNI ini kemudian santer dibicarakan sebagai calon kuat pengganti KSAD. Bahkan, namanya sempat hanya tinggal disandingkan dengan satu kandidat lain, yakni Letjen Agustadi Sasongko Purnomo.

Namun salah seorang sumber Media di lingkungan militer mengingatkan, Presiden Yudhoyono adalah sosok yang concern terhadap masalah HAM. "Sehingga hampir bisa dipastikan, Presiden tidak mau menggaruk di dekat luka," demikian sumber tersebut mengibaratkan peluang Sjafrie.

Letjen Agustadi yang juga disebut-sebut sebagai calon kuat adalah peraih Adimakayasa karena menjadi lulusan terbaik Akmil 1974. Agustadi pernah menjabat sebagai Panglima Kodam Jaya menggantikan Djoko Santoso yang dipromosikan sebagai Wakil KSAD.

Sepanjang sejarah karirnya, ternyata Agustadi juga pernah mengisi pos yang ditinggalkan Djoko, yakni untuk mengisi jabatan Pangdam XVI/Patimura. Tapi apakah kini Agustadi bakal kembali meneruskan karir Djoko Santoso, memang sangat tergantung keputusan Presiden.

Calon selanjutnya adalah Erwin Sudjono, lulusan Akmil 75. Jalan menuju kursi KSAD bagi perwira tinggi yang merupakan ipar Presiden Yudhoyono ini tidak bisa dibilang mulus. Selain karena KSAD Djoko Santoso berasal dari angkatan yang sama dengannya, Erwin juga diketahui sudah memasuki masa pensiun pada Februari 2008. Walau begitu, nama Erwin tetap diajukan sebagai calon, mengingat Erwin kini menyandang bintang tiga di pundaknya.

Perwira tinggi terakhir yang namanya telah berada di 'saku' Presiden Yudhoyono adalah George Toisutta. Sebelum menjabat sebagai Pangkostrad, George pernah memegang komando daerah militer di Kodam Trikora dan Kodam Siliwangi. Jabatan Pangkostrad baru diembannya sejak 13 November 2007. Oleh sebagian orang, George Toisutta dipandang sebagai the rising star

di lingkungan TNI-AD. Kendati masih sangat muda, peluang George sebagai KSAD bisa saja menguat. Bila pertimbangan Presiden diprioritaskan pada upaya regenerasi lingkungan TNI-AD.(Nur)

Rabu, 28 November 2007

'Jangan Tarik TNI ke Kancah Politik'

Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengimbau setiap pihak agar tidak mencoba menarik TNI kembali ke kancah politik dan memanfaatkan TNI untuk memenangkan Pemilu 2004.

Panglima TNI mengungkapkan hal itu kepada pers di Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, kemarin. Dijelaskan Panglima TNI, pihaknya menyadari, sebagai bagian dari komponen bangsa, TNI harus ikut menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2004.

''Sebab, Pemilu 2004 merupakan tonggak sejarah baru bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan pemilu untuk menuju pada tatanan masyarakat demokrasi yang sehat,'' katanya. Menurut Panglima, sejak UUD 45 diamendemen, pemilu yang akan datang adalah pemilu terbesar yang dilaksanakan, karena dalam Pemilu 2004 masyarakat harus memilih anggota DPR pusat, DPRD, dan DPD yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. ''Karena itu, ini merupakan hal yang signifikan dan TNI bertekad pemilu harus bisa berjalan dengan sukses.''

Dalam Pemilu 2004 pulalah, masih kata Panglima TNI, militer akan menunjukkan konsistensinya dalam mengimplementasikan paradigma baru TNI, bahwa TNI tidak lagi berperan di bidang politik serta tidak lagi menjalankan politik praktis dan politik partisan. ''TNI bertekad untuk benar-benar bertindak netral dan tidak memihak kontestan mana pun.

Kami juga akan menyiapkan sebaik-baiknya kekuatan TNI, yang ada agar bisa membantu pengamanan setiap tahapan pemilu.''

Seiring dengan tekad TNI tersebut, Panglima meminta agar semua pihak jangan ada yang mencoba menarik-narik TNI untuk kembali pada kancah politik. Tujuannya, membuat TNI kembali menjalankan politik partisan.

''Ini penting. Sebab selama masih ada yang mencoba-coba berbuat seperti itu, demi memenangkan kekuatan politik yang ada. Saya tidak yakin arah reformasi akan berjalan ke arah yang benar.''

Panglima menambahkan, arah yang benar dari reformasi adalah terciptanya suatu tatanan masyarakat demokratis dengan sistem demokrasi yang sehat. Hal itu dapat membawa masyarakat kepada tercapainya cita-cita nasional. ''Karena itulah, kalau ada elite politik atau parpol yang memiliki niat untuk menggunakan TNI untuk kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan reformasi, lebih baik diurungkan saja. TNI yang tidak netral dan berpihak pun akan menggagalkan suksesnya Pemilu 2004.''

Terkait dengan hak pilih TNI, Panglima kembali menjelaskan bahwa TNI belum akan menggunakannya. Tujuannya, antara lain agar TNI tidak mudah ditarik ke kanan dan ke kiri. ''Walau diberi hak untuk memilih, kami tidak akan menggunakannya. Hal itu dilakukan mengingat situasi perpolitikan nasional yang belum kondusif bagi TNI untuk bersikap netral.'' Menanggapi pertanyaan apakah TNI sudah melihat indikasi adanya kepentingan yang mencoba-coba menarik TNI dalam perpolitikan nasional, Panglima TNI mengaku, sejauh ini memang belum ada, sedangkan ihwal penyaluran aspirasi TNI, mengingat sejak 2004 TNI tidak lagi memiliki wakil di DPR, Panglima mengatakan setiap kekuatan politik yang terpilih di negeri ini harus senantiasa memikirkan kepentingan TNI.

F-TNI tidak Tuntut Kompensasi setelah Ditarik dari MPR

Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak akan meminta kompensasi apa pun terhadap posisi TNI dalam kancah perpolitikan nasional terkait dengan penarikan anggota Fraksi TNI/Polri dari keanggotaan di MPR.

Penegasan itu disampaikan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, kemarin, usai mengikuti lomba lari yang diselenggarakan dalam rangka HUT ke-59 TNI yang berlangsung di kawasan Senayan, Jakarta. Hanya Panglima TNI berharap, dengan penarikan fraksi TNI dari MPR, anggota majelis terpilih bisa mendorong dan memperjuangkan TNI menjadi lebih profesional karena TNI telah bertekad tidak lagi bermain dalam tataran politik praktis dan menjadi alat pertahanan yang dimiliki bangsa Indonesia.

"Berakhirnya Fraksi TNI/Polri di MPR adalah sebuah bentuk komitmen dari TNI dan Polri untuk tidak lagi bermain dalam tataran politik praktis," jelas Endriartono. Ditambahkan, semua pihak harusnya memahami, sebagai konsekuensi TNI untuk tidak berpolitik praktis, TNI lebih cepat menarik keberadaan fraksinya di parlemen dari rencana awal tahun 2009 dan dipercepat menjadi tahun 2004 ini.

Diungkapkan Panglima, dengan dipercepat mengosongkan keberadaan TNI di MPR berarti akan lebih bagus dan dapat mengelola institusi TNI yang terarah. "Usai tidak ada lagi Fraksi TNI di Majelis, TNI akan lebih memfokuskan diri pada masalah keamanan. Karena TNI adalah milik negara, tugas wakil rakyat saat ini, mempunyai kewajiban dan harus memperjuangkan TNI menjadi tentara yang profesional. Kita betul-betul meninggalkan politik praktis dan memfokuskan diri di masalah pertahanan," tegasnya.

Meski ada tawaran pada tahun 2009 anggota TNI bisa memilih dalam pemilu, menurut Panglima, TNI masih melihat dan menunggu situasi politik serta kehidupan demokrasi yang sehat. Terkait dengan adanya keinginan dari beberapa kalangan bahwa tentara juga berhak ikut memilih dalam pemilu, Endriartono mengatakan bahwa hal itu sangat tergantung pada situasi politik mendatang, pada tahun 2009.

Dalam pandangan Panglima, jika partai politik masih mencoba meminta dukungan TNI atau menarik-narik posisi TNI, berarti tentara atau keluarga besar TNI tidak ikut memilih.

TNI Bisa Tolak Hak Pilih KSAD Utamakan Profesionalisme Tentara

Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu mengatakan TNI akan mengkaji RUU tentang Pemilu yang memberi hak dipilih dan memilih kepada anggota TNI dan Polri.

''Kalau itu mengganggu profesionalisme TNI, saya akan bilang tidak usah,'' kata Ryamizard menjawab pers di Karawang, Jawa Barat, kemarin.

KSAD bersama Pangkostrad Letjen Bibit Waluyo kemarin berada di daerah latihan Kostrad Gunung Sanggabuana, Karawang, mengikuti acara tradisi Korps Perwira Satuan Kostrad (pembaretan).

Kepada KSAD, wartawan menanyakan sikap TNI, khususnya TNI-AD, berkaitan RUU tentang Pemilu yang sudah diajukan pemerintah kepada DPR. RUU tersebut memberikan hak dipilih dan memilih kepada anggota TNI dan Polri.

Soal hak pilih dan dipilih anggota TNI dan Polri itu mendapat reaksi beragam dari berbagai pihak. Sebagian berpendapat hak dipilih dan memilih anggota TNI dan Polri bertentangan dengan Tap MPR No VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri serta UU No 2/2002 tentang Polri. Sedangkan sebagian lain berpendapat adanya hak pilih dan dipilih itu sebagai konsekuensi logis dari ketidakberadaan unsur TNI dan Polri di DPR mulai 2004.

Menurut Jenderal Ryamizard, RUU Pemilu yang memungkinkan TNI dan Polri ikut dalam pemilu itu masih sebatas wacana yang perlu dikaji. ''Ini masih sebatas wacana dan kita lihat nanti perkembangannya. Wacana ini akan dibahas segera bersama Panglima TNI dan saya pasti dipanggil untuk membicarakannya, termasuk (membahas) untung dan ruginya,'' kata Ryamizard.

Ditanya apakah profesionalisme TNI akan terganggu jika dibolehkan ikut pemilu, KSAD mengatakan hal itu masih memerlukan pengkajian.

''Jadi, TNI dan Polri akan mengkajinya lagi?'' tanya wartawan.

''Ya, dong, masak kita didikte.'' jawab KSAD.

Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan Mabes TNI-AD Brigjen Ratyono dalam berbagi pendapat dengan wartawan di kantornya, kemarin, menegaskan pemberian hak dipilih dan memilih kepada anggota TNI merupakan embrio yang dapat mendekatkan TNI pada perpecahan.

''Masalah hak dipilih dan memilih yang ada dalam rumusan RUU Pemilu itu memang masih bersifat konsep. Tapi, saya ingin menghadapkan ini pada agenda reformasi, di mana di dalam reformasi ini kita diminta untuk netral, tidak melakukan pemihakan terhadap kelompok politik tertentu dan tidak bermain politik praktis,'' ujarnya.

Kontradiktif

Karena itu, kata Ratyono, adalah hal yang kontradiktif jika netralitas dan soliditas dihadapkan dengan fenomena pemberian hak pilih bagi anggota TNI dan Polri.

Ditanya pandangan ideal tentang penyaluran aspirasi politik personel TNI, Ratyono menegaskan TNI bukanlah institusi politik. Sehingga, sikap TNI adalah kebijakan pimpinan yang didukung seluruh anggota TNI.

''Aspirasi TNI bukanlah diartikan berasal dari setiap individu TNI.

Sebab, TNI bukan institusi politik, melainkan mengacu pada rantai komando yang dituntut untuk menjadi militer profesional. Jadi, kalau ditanya sikap TNI adalah bagaimana kebijakan pimpinan yang harus didukung semua anggota,'' paparnya.

Wakil Kadispen TNI Angkatan Laut Kolonel Fikri mengatakan berkaitan dengan hak pilih TNI dan Polri, hingga saat Mabes TNI-AL belum memiliki sikap resmi.

''Arahan KSAL adalah agar seluruh personel TNI-AL tidak ikut politik, tapi mengikuti semua perintah pimpinan TNI,'' tegasnya.

Pada kesempatan terpisah Kabahumas Polri Irjen Saleh Saaf menyatakan Mabes Polri belum pernah membahas secara khusus RUU Politik tersebut.

Namun, ia mengingatkan agar RUU yang kelak menjadi UU itu tidak bertentangan dengan Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri serta UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Saleh mengutip Pasal 28 ayat (1) UU No 2/2000 yang menyebutkan, 'Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis'. Selain itu, lulusan Akabri 1974 itu mengatakan pada Pasal 28 ayat (2) disebutkan, 'Anggota Polri tidak menggunakan hak memilih dan dipilih'.

''Saya kira dua ayat tersebut sudah secara tegas menyatakan sikap Polri,'' paparnya.

Purnawirawan tidak Perlu Minta Restu TNI

PANGLIMA TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan, capres dan cawapres ataupun anggota legislatif dari purnawirawan tidak lagi mewakili institusi TNI. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki hak untuk meminta restu ataupun dukungan kepada institusi TNI.

Pernyataan itu disampaikan Panglima TNI, kemarin, dalam konferensi pers di Markas Besar Cilangkap, Jakarta, yang mengangkat tema

Pengamanan pemilu dan posisi TNI dalam pemilu. Selain itu, menurut Panglima TNI, para purnawirawan itu juga tidak memiliki kewajiban untuk melapor atau meminta izin kepada institusi TNI terkait dengan keinginan mereka untuk menjadi presiden atau wakil presiden.

"Mereka tidak mewakili institusi TNI. Mereka tampil sebagai warga negara biasa, karena sudah berstatus purnawirawan. Karena itu, mereka juga memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Tapi mereka tidak memiliki kewajiban untuk meminta izin atau melapor pada institusi soal keinginan politiknya dan mereka juga tidak punya hak untuk meminta restu dan dukungan pada TNI, termasuk memengaruhi prajurit TNI untuk memenangkannya," katanya.

Sampai saat ini, menurut Panglima TNI, tidak ada satu pun purnawirawan yang sowan kepadanya. Dan memang, ditandaskan Panglima TNI, dirinya pun tidak mengharapkan hal itu terjadi.

Sebab, diingatkan kembali oleh Panglima TNI, institusi militer tersebut sudah memiliki komitmen untuk bersikap netral dan sikap tersebut sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Yang itu berarti, sambung dia, TNI tidak akan memberikan dukungan atau juga tidak melakukan pemboikotan terhadap partai ataupun calon presiden dan cawapres mana pun.

"Posisi TNI hanya mengawal agar proses pemilu berjalan aman, lancar, jujur, sukses, dan adil. Diharapkan dengan begitu, pemenang pemilu mana pun betul-betul kredibel dan memiliki legitimasi. Sebab kalau TNI memberikan dukungan dan yang diberi dukungan itu menang, legitimasi partai atau pasangan capres/cawapres itu hilang dan legitimasinya menjadi tidak ada," katanya.

Jika TNI memihak pada salah satu kontestan pemilu, Panglima mengatakan, kerugian bukan saja ada di pihak kontestan. Tapi, sambung dia, juga di pihak TNI dan tercederanya proses demokrasi yang tengah berjalan. "Karena sebagai pasukan pengaman, TNI yang memihak akan kehilangan juga kredibilitasnya. Karena sudah menjadi bagian dari yang bermain di dalam politik," katanya.

Penerapan netralitas TNI tersebut, menurut Panglima TNI, juga tidak bisa dilepaskan dari institusi dan individu. Yang mana, sambung dia, netralitas tersebut merupakan bagian dari proses reformasi internal.

"Di mana, TNI sudah mengatakan untuk tidak lagi berada di ajang politik praktis. Sehubungan dengan itu, TNI juga sudah mengeluarkan buku petunjuk untuk setiap militer aktif agar dipedomani dan dilaksanakan."

Pasalnya, menurut Panglima TNI, untuk tiap pelanggaran terhadap aturan yang disebutkan dalam buku tersebut oleh anggota TNI, institusi akan mengambil tindakan berupa sanksi keras. Palanggaran itu sendiri, tambah Panglima, termasuk dalam pelanggaran disiplin.

Ihwal kabar adanya militer TNI yang tidak netral, Panglima TNI meminta agar diberikan bukti dan fakta yang akurat akan adanya tindakan itu.

Hal itu, sambung dia, akan digunakan sebagai dasar penindakan yang akan dilakukan oleh institusi.

"Kalau ada, itu adalah sebuah pelanggaran disiplin yang tidak bisa ditoleransi. Kami akan sangat konsisten untuk memberikan sanksi kepada mereka yang tidak ikut dalam aturan yang telah diterapkan."

Terkait dengan netralitas TNI tersebut, Panglima TNI juga memperingatkan pihak-pihak yang menyebut bahwa TNI terlibat dalam kerusuhan di daerah dalam rangka melaksanakan agenda politik. Ia meminta agar tudingan terhadap TNI segera dicabut.

Pemerintah Siapkan RUU TNI Selaras Semangat Reformasi

Pemerintah tetap berhati-hati dalam mempersiapkan RUU TNI, sehingga selaras dengan UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan semangat reformasi.

Menhan Matori Abdul Djalil mengatakan hal itu kepada wartawan di Jakarta, kemarin, usai menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) Polkam. Ia mengomentari Pasal 19 ayat (1) dan (2) draf RUU TNI.

"RUU TNI lebih merupakan turunan dari UU Pertahanan Negara. Karena itu, kita akan mengecek soal penggodokannya dan membicarakan masukan dari TNI apakah sudah benar-benar cocok dengan semangat UU Pertahanan, cocok dengan semangat reformasi atau tidak," kata Matori.

Pasal 19 ayat (1) draf RUU TNI menyabutkan, 'Dalam keadaan mendesak, di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa terancam, Panglima dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal guna mencegah kerugian negara yang lebih besar'.

Sedangkan pada ayat (2) pasal itu menegaskan, 'Penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada presiden paling lama dalam waktu 1 x 24 jam'.

Sementara itu dalam Pasal 12 UU Pertahanan Negara disebutkan bahwa untuk mengerahkan pasukan, Panglima TNI harus mendapatkan persetujuan dari Presiden dan DPR terlebih dahulu.

Menurut Matori, saat ini Pasal 19 draf RUU TNI baru menjadi masukan dan konsep dari TNI. Oleh karena itulah, tambahnya, jika Panglima TNI mengatakan draf tersebut sudah final, artinya itu keputusan final dari Mabes TNI. "Sedangkan pemerintah akan melakukan penggodokan terlebih dahulu," tegasnya.

Ia menjelaskan, proses penyusunan UU bukan hanya menjadi hak pemerintah, melainkan juga DPR. Bahkan dalam proses pembuatan UU, kata dia, pemerintah sekadar mempersiapkan. "Oleh karena itu, untuk RUU TNI pun proses pembahasannya masih sangat terbuka dari adanya berbagai masukan dan kritik dari masyarakat," katanya.

Ditanya tentang sikap Departemen Pertahanan (Dephan) terhadap draf RUU TNI, Matori menolak untuk berkomentar lebih rinci. Pasalnya, menurut dia, draf itu masih dalam pembahasan di Dephan. "Sekali lagi, itu draf dari TNI dan Dephan menerima masukan dari mana pun juga. Kalau sudah selesai, baru nanti saya bisa bicara, ada atau tidaknya pasal tersebut," tuturnya.

Tekad Mabes TNI untuk memasukkan Pasal 19 dalam draf RUU TNI tidak berubah. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan keberadaan pasal dengan substansi serupa Pasal 19 draf RUU itu merupakan tuntutan kebutuhan TNI di lapangan untuk mengatasi berbagai keadaan yang mendesak.

"TNI memerlukan suatu payung agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal, tanpa harus dianggap melanggar konstitusi," kata Endriartono yang ditemui usai Rakor Polkam.

Ia membantah pasal itu sebagai legalitas melakukan kudeta. "Saya bukan orang yang pintar untuk merekayasa sesuatu untuk kepentingan yang bukan berkaitan dengan profesi, tugas, dan tanggung jawab saya sebagai Panglima TNI. Apalagi, mungkin jabatan saya sebagai panglima juga tinggal satu, dua, tiga, empat, atau lima bulan lagi. Jadi, ketika UU itu telah jadi, saya mungkin tidak menjabat lagi sebagai panglima," ujarnya.

Seiring pengajuan Pasal 19 tersebut, Panglima TNI mengatakan pihak TNI telah membatasi diri agar tidak kemudian melakukan pelanggaran atau penyalahgunaan terhadap pasal itu. Yakni, sambungnya, memasukkan pasal 12 dalam draf RUU TNI yang mengatur tentang pencopotan Panglima TNI oleh presiden tanpa harus menunggu persetujuan DPR, jika terbukti dalam melaksanakan kewenangannya melakukan penyimpangan terhadap tugas dan tanggung jawab.

KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu juga menegaskan sejak kelahirannya hingga sekarang, TNI tidak mengenal tradisi kudeta dan tidak pernah terpikir untuk melakukan hal tersebut. "TNI tidak berniat untuk menyalahgunakan keberadaan Pasal 19 ayat (1) RUU TNI yang kini masih digodok di Departemen Pertahanan," katanya.

Seluruh Bisnis TNI Dihapus 2007

Mabes TNI akan menghapus seluruh bisnis di lingkungan TNI pada 2007. Namun, TNI akan menata kembali koperasi secara profesional.

"Sesuai amanat UU No 34 tahun 2004 tentang TNI diputuskan, bisnis di lingkungan TNI harus segera diakhiri dalam waktu lima tahun ke depan.

Tetapi saya putuskan harus kita akhiri paling lama dua tahun ke depan," kata Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, usai memimpin rapat pimpinan (rapim) di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, kemarin.

Kenapa diputuskan mengakhiri pada 2007, kata Endriartono, pertama, untuk mendorong agar pemerintah dan pihak-pihak yang mempunyai perhatian terhadap kesejahteraan anggota TNI betul-betul mengupayakan kewajiban itu. "Untuk mendorong agar pemerintah dan DPR betul-betul memprioritaskan upaya perealisasian kewajibannya menyejahterakan prajurit. Tanpa harus membebani TNI untuk mencari kesejahteraan sendiri karena TNI tidak memiliki kewajiban untuk memikirkan itu," katanya.

Kedua, kata Panglima TNI, tidak dapat dimungkiri bahwa bisnis TNI memunculkan sejumlah dampak negatif. Karena itulah, sambung dia, hendaknya pemerintah segera memberi jaminan kompensasi dan DPR pun dapat menyetujui pengajuan anggaran untuk TNI dari pemerintah.

"Jika dalam dua tahun itu pemerintah dapat memberikan jaminan kompensasi atas penutupan bisnis TNI, percepatan waktu itu akan lebih baik. Daripada bisnis tetap dilakukan, tetapi menimbulkan efek negatif," katanya.

Dia menegaskan, langkah awal atas keputusan itu, pihaknya membuat inventarisasi bisnis-bisnis TNI. Selanjutnya, membuat klasifikasi jenis bisnis TNI yang akan ditutup.

"Yang akan menjadi prioritas utama untuk ditutup adalah bisnis-bisnis yang selama ini berdampak tidak baik dan terus-menerus merugi," katanya.

Selain itu, menurut Panglima TNI, pihaknya juga akan menutup usaha-usaha yang dinilai tidak memberikan kontribusi berarti bagi prajurit TNI, secara umum. Contohnya, tambah dia, yang hanya berorientasi pada kepentingan sebagian prajurit.

"Jenis bisnis lain yang juga akan dilikuidasi adalah bisnis yang sehat, memberikan keuntungan, dan kontribusi bagi prajurit. Bedanya, bisnis jenis ini akan menjadi prioritas terakhir untuk ditutup," katanya.

Ketika menyinggung munculnya wacana mem-BUMN-kan bisnis-bisnis TNI, Panglima TNI menganggap, hal tersebut mungkin dilakukan. Menurutnya, bila dari seluruh bisnis TNI yang ditutup itu, ada pihak lain yang berniat membeli, maka bisnis tersebut akan dijual. "Untuk bisnis yang merugi terus, kalau ada yang mau membeli silakan. Tapi kalaupun tidak laku, ya dibubarkan saja. Sedangkan untuk bisnis yang sehat, kita akan bicarakan dengan pemerintah terlebih dulu. Kalau mau di-BUMN-kan silakan, atau diserahkan kepada TNI untuk menyelesaikan masalahnya," jelasnya.

Menjawab pertanyaan berapa jumlah dan nilai bisnis yang dikelola TNI, Panglima TNI menegaskan semua bentuk usaha bisnis yang dikelola TNI dihapus. "Ribuan atau satu, dua usaha bisnis, atau senilai triliunan atau ribuan rupiah semua akan ditutup," tegasnya.

Koperasi TNI

Terkait dengan koperasi-koperasi yang ada di lingkungan TNI, Panglima TNI menjelaskan, pihaknya juga akan melakukan penataan. Waktu penataan koperasi itu, sambung dia, berlangsung bersamaan dengan proses penutupan bisnis-bisnis TNI.

"Penataan itu dilakukan karena selama ini diketahui ada koperasi yang bekerja sama dengan perusahaan dari luar, mengelola barang-barang, yang keuntungannya tidak diperuntukkan bagi prajurit dan keluarganya.

Nantinya, tidak ada lagi truk milik Primkpad, Primkopal yang mengangkut pasir untuk membangun realestat," jelasnya.

Panglima TNI menegaskan koperasi yang dikehendaki Mabes TNI adalah koperasi yang hanya melayani kebutuhan prajurit dan keluarganya. Dan tidak, tambah dia, melakukan bisnis di luar kepentingan prajurit dan keluarganya.

"Oleh karena itu, saya minta, ini semua juga harus dapat terselesaikan dalam waktu dua tahun ke depan," katanya.

Diharapkan oleh Panglima TNI, dengan penghapusan bisnis TNI tersebut, maka institusi yang dipimpinnya bisa lebih memfokuskan diri pada upaya pembentukan TNI yang profesional. Serta, sambungnya, tidak harus diganggu oleh kegiatan-kegiatan di luar kewajiban dan kewenangannya.