Rabu, 28 November 2007

Menanti sang Panglima

PENGANTAR: Wacana sosok perwira tinggi (pati) yang bakal dipercaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Panglima TNI bergulir kian tajam. Hal itu seiring dengan dilakukannya proses pengajuan satu nama calon ke DPR oleh Presiden. Bagaimana sesungguhnya proses pengangkatan Panglima TNI pengganti Jenderal Endriartono Sutarto? Kami mengulasnya pada halaman 13, 14, dan 15.

PROSES pergantian Panglima TNI yang kini tengah berlangsung sebenarnya mulai mencuat sejak 15 bulan silam. Berawal dari pengajuan surat permohonan pengunduran diri Jenderal Endriartono Sutarto selaku Panglima TNI kepada Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 September 2004. Alasan Endriartono, karena usianya sudah lebih dari 57 tahun.

Menanggapi surat Endriartono, pada 8 Oktober 2004, Megawati melayangkan surat resmi bernomor R32/Pres/X/2004 kepada DPR. Dalam surat perihal rencana pemberhentian dan pengangkatan Panglima TNI itu, Megawati yang ketika itu masih memiliki hak prerogatif sekaligus menyerahkan nama calon Panglima TNI pengganti Jenderal Endriartono, yakni Kepala Staf AD Jenderal Ryamizard Ryacudu.

Pengajuan nama calon Panglima TNI itu mendapat respons positif dari DPR secara aklamasi. Anggota dewan memutuskan untuk menindaklanjuti permohonan Presiden tersebut.

Namun, belum lagi dewan sempat melaksanakan niatnya, Presiden terpilih hasil Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono, melayangkan surat permohonan lain kepada DPR. Isi surat bernomor R41/Pres/X/2004 tertanggal 26 Oktober itu berkisar tentang keputusan Presiden Yudhoyono untuk menarik surat Presiden Megawati tentang pemberhentian dan pengangkatan Panglima TNI.

Dalam suratnya, Presiden Yudhoyono beralasan dirinya belum berencana mengganti Endriartono dari jabatannya sebagai Panglima TNI dalam waktu dekat. "Keputusan ini tidak terkait dengan persoalan pribadi, baik dengan Endriartono maupun Ryamizard," papar Presiden dalam surat tersebut.

Kontan dewan bereaksi. Sebagian dari mereka ketika itu menilai Presiden Yudhoyono telah melakukan langkah yang tidak semestinya.

Dewan bahkan memutuskan untuk menggunakan hak interpelasi, menyusul tidak hadirnya Ryamizard untuk menjalani proses uji kelayakan (fit n proper test) pada 8 November 2004.

Bagi internal armada perang Indonesia, pergantian Panglima TNI memiliki semangat yang sama seperti dalam proses pergantian jabatan pati lainnya. Yakni, di antaranya agar terjadi proses regenerasi sehingga organisasi TNI terhindar dari ketegangan sistemik. Lazimnya, proses pergantian pimpinan berjalan seiring dengan upaya untuk mewujudkan harapan atas bentuk organisasi yang ideal. Sehingga biasanya, sang calon pemimpin berusaha mendekatkan visi dan misi dengan gambaran ideal tersebut.

Saat ini ada empat pati bintang empat yang memenuhi syarat menjadi Panglima TNI. Yakni, Kepala Staf AD Jenderal Djoko Santoso, Kepala Staf AL Laksamana Slamet Soebijanto, Kepala Staf AU Marsekal Djoko Suyanto, dan mantan Kepala Staf AD Jenderal Ryamizard.

Dalam pergantian Panglima TNI yang dilakukan di era reformasi ini, kehadiran sosok reformis tentu menjadi syarat mutlak. TNI yang tengah melakukan reformasi internal dengan mengibarkan sejumlah paradigma baru tentu tidak bisa dipimpin seorang yang selalu berkiblat pada masa lalu.

Siapa pun sosok calon yang diajukan Presiden ke DPR, bakal mengemban misi sangat krusial, yakni menjaga dan menyempurnakan komitmen reformasi di tubuh TNI. Muncul pula harapan agar TNI ke depan bisa lebih profesional dan menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Menurut salah satu Direktur Imparsial, Otto Syamsudin Ishak, tidak cukup hanya sosok yang memiliki komitmen menegakkan HAM di masa depan, tetapi juga harus bebas dari pelanggaran HAM di masa lalu. Sedangkan pengamat pertahanan dari Universitas Indonesia, Andi Widjayanto, memaparkan empat pertimbangan yang bisa digunakan Presiden Yudhoyono. Pertama, pertimbangan idiosinkratik yang didasari pada karakter dan hubungan personal antara calon Panglima TNI dan Presiden Yudhoyono. Namun, Andi berharap pertimbangan ini tidak akan mendominasi rasionalitas pemilihan.

Kedua, pertimbangan politik yang muncul berdasarkan asumsi adanya kesepahaman politik antara Presiden dan DPR pascapolemik pencabutan surat pengusulan Ryamizard sebagai Panglima TNI. Jika pertimbangan politik mendominasi kalkulasi strategis, Presiden Yudhoyono secara rasional cenderung akan menghindari terbukanya kemungkinan konfrontasi politik dengan DPR (terutama dengan Fraksi PDIP), yakni dengan tetap mengusulkan nama Ryamizard. Walaupun bisa saja ia memilih nama lain dengan dukungan dari Partai Golkar yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pertimbangan lain yang diambil Presiden Yudhoyono bisa terkait dengan aturan yang berlaku saat ini. Dalam UU TNI disebutkan jabatan Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian di antara tiga angkatan. Sebagai catatan, hanya matra udara yang belum pernah menduduki pucuk pimpinan TNI.

Pertimbangan keempat, pertimbangan yang ditekankan pada masalah strategi pertahanan. Lewat pertimbangan itu, Presiden akan diarahkan untuk memilih calon yang dapat menyeimbangkan kebutuhan penuntasan reformasi militer dengan kebutuhan inisiasi transformasi postur pertahanan negara.

Pada akhirnya, semua itu memang terpulang pada diri Presiden Yudhoyono untuk menafsirkan amanat UU TNI yang secara eksplisit menyebutkan, pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dilakukan atas dasar kepentingan organisasi TNI.

------------------------------------

Kontroversi Pencalonan Panglima TNI

------------------------------------

* - 8 Oktober 2004: Megawati mengirim surat nomor R32/Pres/X/2004 kepada DPR tentang pemberhentian dan pengangkatan Panglima TNI. Melalui surat itu ia meminta persetujuan DPR atas pengunduran diri Jenderal Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI dan mengajukan Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai penggantinya.

* - 15 Oktober 2004: Pimpinan DPR menerima surat Megawati itu dan selanjutnya meneruskan ke Komisi I yang membidangi masalah pertahanan untuk pembahasan lebih lanjut di DPR.

* - 26 Oktober 2004: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirim surat kepada DPR yang bernomor R41/Pres/X/2004 perihal pencabutan surat Megawati. Presiden menyatakan belum berencana mengganti Jenderal Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI dalam waktu dekat ini.

* - 27 Oktober 2004: DPR menetapkan untuk tetap memproses surat terdahulu dan mengabaikan surat penarikan yang diajukan Presiden Yudhoyono. DPR bahkan mengancam akan menginterpelasi Presiden. Bahkan sempat berkembang polemik yang menyatakan secara de jure jabatan Panglima TNI dipegang Jenderal Ryamizard.

* - 17 Februari 2005: Jenderal Endriartono Sutarto kembali mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Panglima TNI. Kali ini ditujukan kepada Presiden Yudhoyono.

* - 5 September 2005: DPR melayangkan surat kepada Presiden Yudhoyono untuk segera menyerahkan nama calon Panglima TNI pengganti Jenderal Endriartono.

* - 12 September 2005: Presiden melayangkan surat balasan kepada Ketua DPR. Isi surat itu menyatakan Panglima TNI saat ini akan terus memegang jabatannya dan belum akan melakukan pergantian. Ia masih diperlukan untuk menyelesaikan konflik di Aceh, terutama untuk menyukseskan penyerahan dan pemusnahan senjata GAM, 15 September hingga 31 Desember 2005, sesuai dengan nota kesepahaman RI-GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005.

* - Akhir Desember 2005: Presiden Yudhoyono memberikan kepastian rencana penggantian Panglima TNI.

* - Panglima TNI mencalonkan empat perwira tinggi TNI, yakni KSAD Jenderal Djoko Santoso, KSAL Laksamana Slamet Soebijanto, KSAU Marsekal Djoko Suyanto, dan mantan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, untuk menggantikannya sebagai Panglima TNI.

Tidak ada komentar: