Rabu, 28 November 2007

'Jangan Tarik TNI ke Kancah Politik'

Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengimbau setiap pihak agar tidak mencoba menarik TNI kembali ke kancah politik dan memanfaatkan TNI untuk memenangkan Pemilu 2004.

Panglima TNI mengungkapkan hal itu kepada pers di Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, kemarin. Dijelaskan Panglima TNI, pihaknya menyadari, sebagai bagian dari komponen bangsa, TNI harus ikut menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2004.

''Sebab, Pemilu 2004 merupakan tonggak sejarah baru bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan pemilu untuk menuju pada tatanan masyarakat demokrasi yang sehat,'' katanya. Menurut Panglima, sejak UUD 45 diamendemen, pemilu yang akan datang adalah pemilu terbesar yang dilaksanakan, karena dalam Pemilu 2004 masyarakat harus memilih anggota DPR pusat, DPRD, dan DPD yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. ''Karena itu, ini merupakan hal yang signifikan dan TNI bertekad pemilu harus bisa berjalan dengan sukses.''

Dalam Pemilu 2004 pulalah, masih kata Panglima TNI, militer akan menunjukkan konsistensinya dalam mengimplementasikan paradigma baru TNI, bahwa TNI tidak lagi berperan di bidang politik serta tidak lagi menjalankan politik praktis dan politik partisan. ''TNI bertekad untuk benar-benar bertindak netral dan tidak memihak kontestan mana pun.

Kami juga akan menyiapkan sebaik-baiknya kekuatan TNI, yang ada agar bisa membantu pengamanan setiap tahapan pemilu.''

Seiring dengan tekad TNI tersebut, Panglima meminta agar semua pihak jangan ada yang mencoba menarik-narik TNI untuk kembali pada kancah politik. Tujuannya, membuat TNI kembali menjalankan politik partisan.

''Ini penting. Sebab selama masih ada yang mencoba-coba berbuat seperti itu, demi memenangkan kekuatan politik yang ada. Saya tidak yakin arah reformasi akan berjalan ke arah yang benar.''

Panglima menambahkan, arah yang benar dari reformasi adalah terciptanya suatu tatanan masyarakat demokratis dengan sistem demokrasi yang sehat. Hal itu dapat membawa masyarakat kepada tercapainya cita-cita nasional. ''Karena itulah, kalau ada elite politik atau parpol yang memiliki niat untuk menggunakan TNI untuk kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan reformasi, lebih baik diurungkan saja. TNI yang tidak netral dan berpihak pun akan menggagalkan suksesnya Pemilu 2004.''

Terkait dengan hak pilih TNI, Panglima kembali menjelaskan bahwa TNI belum akan menggunakannya. Tujuannya, antara lain agar TNI tidak mudah ditarik ke kanan dan ke kiri. ''Walau diberi hak untuk memilih, kami tidak akan menggunakannya. Hal itu dilakukan mengingat situasi perpolitikan nasional yang belum kondusif bagi TNI untuk bersikap netral.'' Menanggapi pertanyaan apakah TNI sudah melihat indikasi adanya kepentingan yang mencoba-coba menarik TNI dalam perpolitikan nasional, Panglima TNI mengaku, sejauh ini memang belum ada, sedangkan ihwal penyaluran aspirasi TNI, mengingat sejak 2004 TNI tidak lagi memiliki wakil di DPR, Panglima mengatakan setiap kekuatan politik yang terpilih di negeri ini harus senantiasa memikirkan kepentingan TNI.

F-TNI tidak Tuntut Kompensasi setelah Ditarik dari MPR

Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak akan meminta kompensasi apa pun terhadap posisi TNI dalam kancah perpolitikan nasional terkait dengan penarikan anggota Fraksi TNI/Polri dari keanggotaan di MPR.

Penegasan itu disampaikan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, kemarin, usai mengikuti lomba lari yang diselenggarakan dalam rangka HUT ke-59 TNI yang berlangsung di kawasan Senayan, Jakarta. Hanya Panglima TNI berharap, dengan penarikan fraksi TNI dari MPR, anggota majelis terpilih bisa mendorong dan memperjuangkan TNI menjadi lebih profesional karena TNI telah bertekad tidak lagi bermain dalam tataran politik praktis dan menjadi alat pertahanan yang dimiliki bangsa Indonesia.

"Berakhirnya Fraksi TNI/Polri di MPR adalah sebuah bentuk komitmen dari TNI dan Polri untuk tidak lagi bermain dalam tataran politik praktis," jelas Endriartono. Ditambahkan, semua pihak harusnya memahami, sebagai konsekuensi TNI untuk tidak berpolitik praktis, TNI lebih cepat menarik keberadaan fraksinya di parlemen dari rencana awal tahun 2009 dan dipercepat menjadi tahun 2004 ini.

Diungkapkan Panglima, dengan dipercepat mengosongkan keberadaan TNI di MPR berarti akan lebih bagus dan dapat mengelola institusi TNI yang terarah. "Usai tidak ada lagi Fraksi TNI di Majelis, TNI akan lebih memfokuskan diri pada masalah keamanan. Karena TNI adalah milik negara, tugas wakil rakyat saat ini, mempunyai kewajiban dan harus memperjuangkan TNI menjadi tentara yang profesional. Kita betul-betul meninggalkan politik praktis dan memfokuskan diri di masalah pertahanan," tegasnya.

Meski ada tawaran pada tahun 2009 anggota TNI bisa memilih dalam pemilu, menurut Panglima, TNI masih melihat dan menunggu situasi politik serta kehidupan demokrasi yang sehat. Terkait dengan adanya keinginan dari beberapa kalangan bahwa tentara juga berhak ikut memilih dalam pemilu, Endriartono mengatakan bahwa hal itu sangat tergantung pada situasi politik mendatang, pada tahun 2009.

Dalam pandangan Panglima, jika partai politik masih mencoba meminta dukungan TNI atau menarik-narik posisi TNI, berarti tentara atau keluarga besar TNI tidak ikut memilih.

TNI Bisa Tolak Hak Pilih KSAD Utamakan Profesionalisme Tentara

Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu mengatakan TNI akan mengkaji RUU tentang Pemilu yang memberi hak dipilih dan memilih kepada anggota TNI dan Polri.

''Kalau itu mengganggu profesionalisme TNI, saya akan bilang tidak usah,'' kata Ryamizard menjawab pers di Karawang, Jawa Barat, kemarin.

KSAD bersama Pangkostrad Letjen Bibit Waluyo kemarin berada di daerah latihan Kostrad Gunung Sanggabuana, Karawang, mengikuti acara tradisi Korps Perwira Satuan Kostrad (pembaretan).

Kepada KSAD, wartawan menanyakan sikap TNI, khususnya TNI-AD, berkaitan RUU tentang Pemilu yang sudah diajukan pemerintah kepada DPR. RUU tersebut memberikan hak dipilih dan memilih kepada anggota TNI dan Polri.

Soal hak pilih dan dipilih anggota TNI dan Polri itu mendapat reaksi beragam dari berbagai pihak. Sebagian berpendapat hak dipilih dan memilih anggota TNI dan Polri bertentangan dengan Tap MPR No VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri serta UU No 2/2002 tentang Polri. Sedangkan sebagian lain berpendapat adanya hak pilih dan dipilih itu sebagai konsekuensi logis dari ketidakberadaan unsur TNI dan Polri di DPR mulai 2004.

Menurut Jenderal Ryamizard, RUU Pemilu yang memungkinkan TNI dan Polri ikut dalam pemilu itu masih sebatas wacana yang perlu dikaji. ''Ini masih sebatas wacana dan kita lihat nanti perkembangannya. Wacana ini akan dibahas segera bersama Panglima TNI dan saya pasti dipanggil untuk membicarakannya, termasuk (membahas) untung dan ruginya,'' kata Ryamizard.

Ditanya apakah profesionalisme TNI akan terganggu jika dibolehkan ikut pemilu, KSAD mengatakan hal itu masih memerlukan pengkajian.

''Jadi, TNI dan Polri akan mengkajinya lagi?'' tanya wartawan.

''Ya, dong, masak kita didikte.'' jawab KSAD.

Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan Mabes TNI-AD Brigjen Ratyono dalam berbagi pendapat dengan wartawan di kantornya, kemarin, menegaskan pemberian hak dipilih dan memilih kepada anggota TNI merupakan embrio yang dapat mendekatkan TNI pada perpecahan.

''Masalah hak dipilih dan memilih yang ada dalam rumusan RUU Pemilu itu memang masih bersifat konsep. Tapi, saya ingin menghadapkan ini pada agenda reformasi, di mana di dalam reformasi ini kita diminta untuk netral, tidak melakukan pemihakan terhadap kelompok politik tertentu dan tidak bermain politik praktis,'' ujarnya.

Kontradiktif

Karena itu, kata Ratyono, adalah hal yang kontradiktif jika netralitas dan soliditas dihadapkan dengan fenomena pemberian hak pilih bagi anggota TNI dan Polri.

Ditanya pandangan ideal tentang penyaluran aspirasi politik personel TNI, Ratyono menegaskan TNI bukanlah institusi politik. Sehingga, sikap TNI adalah kebijakan pimpinan yang didukung seluruh anggota TNI.

''Aspirasi TNI bukanlah diartikan berasal dari setiap individu TNI.

Sebab, TNI bukan institusi politik, melainkan mengacu pada rantai komando yang dituntut untuk menjadi militer profesional. Jadi, kalau ditanya sikap TNI adalah bagaimana kebijakan pimpinan yang harus didukung semua anggota,'' paparnya.

Wakil Kadispen TNI Angkatan Laut Kolonel Fikri mengatakan berkaitan dengan hak pilih TNI dan Polri, hingga saat Mabes TNI-AL belum memiliki sikap resmi.

''Arahan KSAL adalah agar seluruh personel TNI-AL tidak ikut politik, tapi mengikuti semua perintah pimpinan TNI,'' tegasnya.

Pada kesempatan terpisah Kabahumas Polri Irjen Saleh Saaf menyatakan Mabes Polri belum pernah membahas secara khusus RUU Politik tersebut.

Namun, ia mengingatkan agar RUU yang kelak menjadi UU itu tidak bertentangan dengan Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri serta UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Saleh mengutip Pasal 28 ayat (1) UU No 2/2000 yang menyebutkan, 'Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis'. Selain itu, lulusan Akabri 1974 itu mengatakan pada Pasal 28 ayat (2) disebutkan, 'Anggota Polri tidak menggunakan hak memilih dan dipilih'.

''Saya kira dua ayat tersebut sudah secara tegas menyatakan sikap Polri,'' paparnya.

Purnawirawan tidak Perlu Minta Restu TNI

PANGLIMA TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan, capres dan cawapres ataupun anggota legislatif dari purnawirawan tidak lagi mewakili institusi TNI. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki hak untuk meminta restu ataupun dukungan kepada institusi TNI.

Pernyataan itu disampaikan Panglima TNI, kemarin, dalam konferensi pers di Markas Besar Cilangkap, Jakarta, yang mengangkat tema

Pengamanan pemilu dan posisi TNI dalam pemilu. Selain itu, menurut Panglima TNI, para purnawirawan itu juga tidak memiliki kewajiban untuk melapor atau meminta izin kepada institusi TNI terkait dengan keinginan mereka untuk menjadi presiden atau wakil presiden.

"Mereka tidak mewakili institusi TNI. Mereka tampil sebagai warga negara biasa, karena sudah berstatus purnawirawan. Karena itu, mereka juga memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Tapi mereka tidak memiliki kewajiban untuk meminta izin atau melapor pada institusi soal keinginan politiknya dan mereka juga tidak punya hak untuk meminta restu dan dukungan pada TNI, termasuk memengaruhi prajurit TNI untuk memenangkannya," katanya.

Sampai saat ini, menurut Panglima TNI, tidak ada satu pun purnawirawan yang sowan kepadanya. Dan memang, ditandaskan Panglima TNI, dirinya pun tidak mengharapkan hal itu terjadi.

Sebab, diingatkan kembali oleh Panglima TNI, institusi militer tersebut sudah memiliki komitmen untuk bersikap netral dan sikap tersebut sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Yang itu berarti, sambung dia, TNI tidak akan memberikan dukungan atau juga tidak melakukan pemboikotan terhadap partai ataupun calon presiden dan cawapres mana pun.

"Posisi TNI hanya mengawal agar proses pemilu berjalan aman, lancar, jujur, sukses, dan adil. Diharapkan dengan begitu, pemenang pemilu mana pun betul-betul kredibel dan memiliki legitimasi. Sebab kalau TNI memberikan dukungan dan yang diberi dukungan itu menang, legitimasi partai atau pasangan capres/cawapres itu hilang dan legitimasinya menjadi tidak ada," katanya.

Jika TNI memihak pada salah satu kontestan pemilu, Panglima mengatakan, kerugian bukan saja ada di pihak kontestan. Tapi, sambung dia, juga di pihak TNI dan tercederanya proses demokrasi yang tengah berjalan. "Karena sebagai pasukan pengaman, TNI yang memihak akan kehilangan juga kredibilitasnya. Karena sudah menjadi bagian dari yang bermain di dalam politik," katanya.

Penerapan netralitas TNI tersebut, menurut Panglima TNI, juga tidak bisa dilepaskan dari institusi dan individu. Yang mana, sambung dia, netralitas tersebut merupakan bagian dari proses reformasi internal.

"Di mana, TNI sudah mengatakan untuk tidak lagi berada di ajang politik praktis. Sehubungan dengan itu, TNI juga sudah mengeluarkan buku petunjuk untuk setiap militer aktif agar dipedomani dan dilaksanakan."

Pasalnya, menurut Panglima TNI, untuk tiap pelanggaran terhadap aturan yang disebutkan dalam buku tersebut oleh anggota TNI, institusi akan mengambil tindakan berupa sanksi keras. Palanggaran itu sendiri, tambah Panglima, termasuk dalam pelanggaran disiplin.

Ihwal kabar adanya militer TNI yang tidak netral, Panglima TNI meminta agar diberikan bukti dan fakta yang akurat akan adanya tindakan itu.

Hal itu, sambung dia, akan digunakan sebagai dasar penindakan yang akan dilakukan oleh institusi.

"Kalau ada, itu adalah sebuah pelanggaran disiplin yang tidak bisa ditoleransi. Kami akan sangat konsisten untuk memberikan sanksi kepada mereka yang tidak ikut dalam aturan yang telah diterapkan."

Terkait dengan netralitas TNI tersebut, Panglima TNI juga memperingatkan pihak-pihak yang menyebut bahwa TNI terlibat dalam kerusuhan di daerah dalam rangka melaksanakan agenda politik. Ia meminta agar tudingan terhadap TNI segera dicabut.

Pemerintah Siapkan RUU TNI Selaras Semangat Reformasi

Pemerintah tetap berhati-hati dalam mempersiapkan RUU TNI, sehingga selaras dengan UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan semangat reformasi.

Menhan Matori Abdul Djalil mengatakan hal itu kepada wartawan di Jakarta, kemarin, usai menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) Polkam. Ia mengomentari Pasal 19 ayat (1) dan (2) draf RUU TNI.

"RUU TNI lebih merupakan turunan dari UU Pertahanan Negara. Karena itu, kita akan mengecek soal penggodokannya dan membicarakan masukan dari TNI apakah sudah benar-benar cocok dengan semangat UU Pertahanan, cocok dengan semangat reformasi atau tidak," kata Matori.

Pasal 19 ayat (1) draf RUU TNI menyabutkan, 'Dalam keadaan mendesak, di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa terancam, Panglima dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal guna mencegah kerugian negara yang lebih besar'.

Sedangkan pada ayat (2) pasal itu menegaskan, 'Penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada presiden paling lama dalam waktu 1 x 24 jam'.

Sementara itu dalam Pasal 12 UU Pertahanan Negara disebutkan bahwa untuk mengerahkan pasukan, Panglima TNI harus mendapatkan persetujuan dari Presiden dan DPR terlebih dahulu.

Menurut Matori, saat ini Pasal 19 draf RUU TNI baru menjadi masukan dan konsep dari TNI. Oleh karena itulah, tambahnya, jika Panglima TNI mengatakan draf tersebut sudah final, artinya itu keputusan final dari Mabes TNI. "Sedangkan pemerintah akan melakukan penggodokan terlebih dahulu," tegasnya.

Ia menjelaskan, proses penyusunan UU bukan hanya menjadi hak pemerintah, melainkan juga DPR. Bahkan dalam proses pembuatan UU, kata dia, pemerintah sekadar mempersiapkan. "Oleh karena itu, untuk RUU TNI pun proses pembahasannya masih sangat terbuka dari adanya berbagai masukan dan kritik dari masyarakat," katanya.

Ditanya tentang sikap Departemen Pertahanan (Dephan) terhadap draf RUU TNI, Matori menolak untuk berkomentar lebih rinci. Pasalnya, menurut dia, draf itu masih dalam pembahasan di Dephan. "Sekali lagi, itu draf dari TNI dan Dephan menerima masukan dari mana pun juga. Kalau sudah selesai, baru nanti saya bisa bicara, ada atau tidaknya pasal tersebut," tuturnya.

Tekad Mabes TNI untuk memasukkan Pasal 19 dalam draf RUU TNI tidak berubah. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan keberadaan pasal dengan substansi serupa Pasal 19 draf RUU itu merupakan tuntutan kebutuhan TNI di lapangan untuk mengatasi berbagai keadaan yang mendesak.

"TNI memerlukan suatu payung agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal, tanpa harus dianggap melanggar konstitusi," kata Endriartono yang ditemui usai Rakor Polkam.

Ia membantah pasal itu sebagai legalitas melakukan kudeta. "Saya bukan orang yang pintar untuk merekayasa sesuatu untuk kepentingan yang bukan berkaitan dengan profesi, tugas, dan tanggung jawab saya sebagai Panglima TNI. Apalagi, mungkin jabatan saya sebagai panglima juga tinggal satu, dua, tiga, empat, atau lima bulan lagi. Jadi, ketika UU itu telah jadi, saya mungkin tidak menjabat lagi sebagai panglima," ujarnya.

Seiring pengajuan Pasal 19 tersebut, Panglima TNI mengatakan pihak TNI telah membatasi diri agar tidak kemudian melakukan pelanggaran atau penyalahgunaan terhadap pasal itu. Yakni, sambungnya, memasukkan pasal 12 dalam draf RUU TNI yang mengatur tentang pencopotan Panglima TNI oleh presiden tanpa harus menunggu persetujuan DPR, jika terbukti dalam melaksanakan kewenangannya melakukan penyimpangan terhadap tugas dan tanggung jawab.

KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu juga menegaskan sejak kelahirannya hingga sekarang, TNI tidak mengenal tradisi kudeta dan tidak pernah terpikir untuk melakukan hal tersebut. "TNI tidak berniat untuk menyalahgunakan keberadaan Pasal 19 ayat (1) RUU TNI yang kini masih digodok di Departemen Pertahanan," katanya.

Seluruh Bisnis TNI Dihapus 2007

Mabes TNI akan menghapus seluruh bisnis di lingkungan TNI pada 2007. Namun, TNI akan menata kembali koperasi secara profesional.

"Sesuai amanat UU No 34 tahun 2004 tentang TNI diputuskan, bisnis di lingkungan TNI harus segera diakhiri dalam waktu lima tahun ke depan.

Tetapi saya putuskan harus kita akhiri paling lama dua tahun ke depan," kata Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, usai memimpin rapat pimpinan (rapim) di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, kemarin.

Kenapa diputuskan mengakhiri pada 2007, kata Endriartono, pertama, untuk mendorong agar pemerintah dan pihak-pihak yang mempunyai perhatian terhadap kesejahteraan anggota TNI betul-betul mengupayakan kewajiban itu. "Untuk mendorong agar pemerintah dan DPR betul-betul memprioritaskan upaya perealisasian kewajibannya menyejahterakan prajurit. Tanpa harus membebani TNI untuk mencari kesejahteraan sendiri karena TNI tidak memiliki kewajiban untuk memikirkan itu," katanya.

Kedua, kata Panglima TNI, tidak dapat dimungkiri bahwa bisnis TNI memunculkan sejumlah dampak negatif. Karena itulah, sambung dia, hendaknya pemerintah segera memberi jaminan kompensasi dan DPR pun dapat menyetujui pengajuan anggaran untuk TNI dari pemerintah.

"Jika dalam dua tahun itu pemerintah dapat memberikan jaminan kompensasi atas penutupan bisnis TNI, percepatan waktu itu akan lebih baik. Daripada bisnis tetap dilakukan, tetapi menimbulkan efek negatif," katanya.

Dia menegaskan, langkah awal atas keputusan itu, pihaknya membuat inventarisasi bisnis-bisnis TNI. Selanjutnya, membuat klasifikasi jenis bisnis TNI yang akan ditutup.

"Yang akan menjadi prioritas utama untuk ditutup adalah bisnis-bisnis yang selama ini berdampak tidak baik dan terus-menerus merugi," katanya.

Selain itu, menurut Panglima TNI, pihaknya juga akan menutup usaha-usaha yang dinilai tidak memberikan kontribusi berarti bagi prajurit TNI, secara umum. Contohnya, tambah dia, yang hanya berorientasi pada kepentingan sebagian prajurit.

"Jenis bisnis lain yang juga akan dilikuidasi adalah bisnis yang sehat, memberikan keuntungan, dan kontribusi bagi prajurit. Bedanya, bisnis jenis ini akan menjadi prioritas terakhir untuk ditutup," katanya.

Ketika menyinggung munculnya wacana mem-BUMN-kan bisnis-bisnis TNI, Panglima TNI menganggap, hal tersebut mungkin dilakukan. Menurutnya, bila dari seluruh bisnis TNI yang ditutup itu, ada pihak lain yang berniat membeli, maka bisnis tersebut akan dijual. "Untuk bisnis yang merugi terus, kalau ada yang mau membeli silakan. Tapi kalaupun tidak laku, ya dibubarkan saja. Sedangkan untuk bisnis yang sehat, kita akan bicarakan dengan pemerintah terlebih dulu. Kalau mau di-BUMN-kan silakan, atau diserahkan kepada TNI untuk menyelesaikan masalahnya," jelasnya.

Menjawab pertanyaan berapa jumlah dan nilai bisnis yang dikelola TNI, Panglima TNI menegaskan semua bentuk usaha bisnis yang dikelola TNI dihapus. "Ribuan atau satu, dua usaha bisnis, atau senilai triliunan atau ribuan rupiah semua akan ditutup," tegasnya.

Koperasi TNI

Terkait dengan koperasi-koperasi yang ada di lingkungan TNI, Panglima TNI menjelaskan, pihaknya juga akan melakukan penataan. Waktu penataan koperasi itu, sambung dia, berlangsung bersamaan dengan proses penutupan bisnis-bisnis TNI.

"Penataan itu dilakukan karena selama ini diketahui ada koperasi yang bekerja sama dengan perusahaan dari luar, mengelola barang-barang, yang keuntungannya tidak diperuntukkan bagi prajurit dan keluarganya.

Nantinya, tidak ada lagi truk milik Primkpad, Primkopal yang mengangkut pasir untuk membangun realestat," jelasnya.

Panglima TNI menegaskan koperasi yang dikehendaki Mabes TNI adalah koperasi yang hanya melayani kebutuhan prajurit dan keluarganya. Dan tidak, tambah dia, melakukan bisnis di luar kepentingan prajurit dan keluarganya.

"Oleh karena itu, saya minta, ini semua juga harus dapat terselesaikan dalam waktu dua tahun ke depan," katanya.

Diharapkan oleh Panglima TNI, dengan penghapusan bisnis TNI tersebut, maka institusi yang dipimpinnya bisa lebih memfokuskan diri pada upaya pembentukan TNI yang profesional. Serta, sambungnya, tidak harus diganggu oleh kegiatan-kegiatan di luar kewajiban dan kewenangannya.

TNI Netral dalam Pemilu 2004

TNI akan bersikap netral dalam Pemilu 2004, dan akan memberikan sanksi kepada anggotanya yang melakukan penyimpangan terhadap instruksi itu.

Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan hal itu kepada pers, usai memimpin rapat pimpinan (rapim) TNI 2004 di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (21/1) lalu.

Menurut Endriartono, TNI tidak akan mendukung kontestan mana pun, termasuk calon presiden dan wakil presiden tertentu, dalam pemilu mendatang. Sebab, TNI sudah bertekad untuk tidak berpihak.

"Sikap netral secara konsisten ini kita tunjukkan dan tetapkan, baik pada tingkat perseorangan, institusi terkecil, sampai tingkat Markas Besar TNI melalui kebijakan dan tindakan di lapangan," tegasnya.

Jajaran TNI, lanjut Endriartono, tidak menginginkan adanya penyimpangan sekecil apa pun dalam menjaga netralitasnya pada Pemilu 2004. Sebab, penyimpangan sekecil apa pun yang dilakukan TNI, akan berdampak pada kepercayaan masyarakat dan bangsa Indonesia kepada TNI.

"Jika nanti terjadi penyimpangan, TNI akan menerapkan sanksi kepada para anggotanya," ujar Panglima TNI didampingi KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh, KSAU Marsekal Chappy Hakim, Wakasad Letjen Joko Santoso, dan Kasum Letjen Djamari Chaniago.

Keterangan resmi Mabes TNI menyebutkan, sanksi bagi prajurit TNI yang kedapatan tidak bersikap netral akan diproses secara internal. Bentuk sanksi akan disesuaikan dengan pelanggarannya, yakni pelanggaran disiplin. Sebab, menjaga netralitas sudah merupakan perintah dari Panglima TNI.

Menurut Endriartono, tidak digunakannya hak pilih anggota-anggota TNI pada Pemilu 2004, adalah karena TNI ingin menunjukkan pihaknya tidak lagi mempunyai kepentingan di bidang politik. Dengan berakhirnya masa bakti anggota legislatif dari TNI setelah Pemilu 2004, TNI akan memfokuskan diri pada tugas utamanya, yakni pertahanan negara.

'Task Force'

Sebelumnya, Endriartono mengemukakan, TNI mengusulkan pembentukan satuan tugas (task force) dalam rangka pengamanan Pemilu 2004 bila ditemukan adanya indikasi gangguan yang memerlukan penanganan khusus. Pembentukan taks force itu, ujarnya, merupakan sikap proaktif TNI dalam menyukseskan Pemilu 2004.

"Karena pemilu adalah agenda nasional, TNI perlu bersikap proaktif dalam mengantisipasi pelaksanaan tugas bantuan kepada Polri maupun pemda. Bentuknya, jauh-jauh hari TNI akan memberikan saran kepada Polri dan pemda tentang pembentukan task force. Itu dilakukan bila ada indikasi yang memerlukan penanganan khusus yang melibatkan kekuatan TNI," tuturnya.

Menanggapi usulan tersebut, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono kemarin mengatakan, pemerintah menghargai inisiatif pengamanan Pemilu 2004 itu. Pembentukan task force, seperti dilontarkan Panglima TNI itu, merupakan bentuk tanggung jawab fungsional aparat keamanan bersama pemerintah. "Penanggung jawabnya adalah Kapolri," ujarnya.

Menurut Endriartono, keikutsertaan TNI dalam menyukseskan Pemilu 2004 memang menjadi agenda utama dalam Rapim TNI 2004. Ada empat tujuan yang ingin dicapai seiring dengan digelarnya rapim tersebut.

Pertama, menyamakan visi, persepsi, dan interpretasi TNI dalam menghadapi Pemilu 2004. Kedua, meningkatkan koordinasi untuk memperlancar pelaksanaan tugas TNI secara optimal.

Ketiga, untuk memperoleh masukan atau evaluasi tentang perkembangan situasi menjelang Pemilu 2004. Keempat, mempersiapkan kemungkinan ditugaskannya pasukan TNI untuk tugas bantuan Pemilu 2004.

Usai rapim yang dihadiri seluruh panglima komando utama dan petinggi TNI itu, Endriartono juga mengungkapkan, meski peran TNI tidak lagi sama dengan sebelumnya, bukan berarti TNI tidak memiliki tanggung jawab terhadap keamanan Pemilu 2004. Sebab, TNI merupakan salah satu komponen bangsa yang dipercaya oleh masyarakat.

"Karena itulah, TNI akan tetap mengantisipasi upaya pihak-pihak tertentu yang ingin menggagalkan Pemilu 2004. Bagi TNI, suksesnya Pemilu 2004 merupakan suatu keniscayaan," katanya.

Khusus pengamanan di daerah konflik, Endriartono mengatakan, TNI akan tetap memberikan perhatian khusus guna mencegah terjadinya sabotase dan teror yang dapat menggagalkan Pemilu 2004. Sebab, kemungkinan terjadinya sabotase dan teror oleh kelompok separatis dan radikal sangat besar.

"Mereka tidak menginginkan suksesnya pemilu. Karena mereka beranggapan, suksesnya pemilu akan menyudutkan posisi dan memperkecil ruang gerak mereka," paparnya.

Untuk itu, jelas Endriartono, TNI akan mengadakan penyesuaian gelar kekuatan di daerah konflik. Sehingga, pengamanan Pemilu 2004 di daerah konflik menjadi prioritas utama.

Bentrok TNI-Polri, akibat Perceraian Dini

SEJAK polisi dan TNI berpisah melalui Ketetapan (Tap) MPR No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, terkesan konflik terbuka dan bersenjata antara kedua anggota institusi itu semakin sering terjadi. Bahkan, kerap menimbulkan korban jiwa baik di kedua belah pihak maupun masyarakat sipil.

Kasus terakhir di Binjai, Langkat, Sumatra Utara pada 29 September 2002 yang melibatkan pasukan elite TNI Lintas Udara (Linud) 100 yang menyerang markas polisi dan menewaskan sejumlah perwira polisi, mungkin saja tidak merupakan peristiwa terakhir. Dikhawatirkan bentrokan di lapangan antara kedua anggota institusi penjaga keamanan tersebut masih akan terjadi. Tidak hanya di daerah konflik, tapi juga di daerah-daerah nyaman dan aman.

Berdasarkan data Media, pascapemisahan institusi Polri dari TNI, tercatat telah terjadi sedikitnya 17 kali perseteruan antara personel TNI dan Polri, yang mengakibatkan belasan korban tewas dan puluhan luka-luka.

Pimpinan TNI dan Polri telah melakukan tindakan tegas, mulai pencopotan komandan hingga pemecatan terhadap mereka yang terlibat langsung dalam aksi penyerangan tersebut. Tapi, apakah itu menjadi jaminan peristiwa bentrokan serupa tidak terjadi lagi di masa depan?

Apakah akar masalah sesungguhnya, sehingga konflik terbuka para pemegang senjata itu sering menarik pelatuk senjatanya?

Berbagai analisis telah dilakukan untuk membuka tabir akar bentrokan TNI dan Polri. Salah satunya, apakah pemisahan antara TNI dan Polri itu cukup realistis?

Anggota Komnas HAM yang mantan Pangdam Cenderawasih Mayjen Samsudin mengatakan pemisahan TNI dan Polri sejak 2000 sudah benar. Alasannya, kedua institusi tersebut memiliki fungsi dan tugas yang berbeda.

Samsudin menganggap polisi mempunyai tugas berat karena berfungsi memberi perlindungan kepada masyarakat dan sebagai alat penegakan hukum. Sementara itu, TNI mempunyai fungsi sebagai militer. ''Polisi harus lebih dikedepankan sekarang,'' ujar Samsudin. Di sisi lain TNI sebagai alat pertahanan harus meningkatkan dirinya agar lebih profesional.

Soal bentrokan antara TNI dan Polri? ''Itu sudah sejak lama terjadi.

Bukan hal baru. Dan bukan dipicu pemisahan TNI dan Polri,'' katanya.

Menurut dia, bentrokan terjadi karena ada rasa kebanggaan yang berlebihan pada diri setiap anggota TNI ataupun Polri. ''Tapi, biasanya hal tersebut terjadi paling dominan di lingkup paling bawah, seperti prajurit-prajurit biasa,'' lanjut Samsudin.

Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu justru melihat ada kausalitas antara peristiwa bentrokan dan pemisahan TNI dan Polri. Untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang, maka perlu ada perumusan yang benar tentang hubungan TNI dan Polri pascapemisahan.

''Untuk mengatasi masalah ini kita sedang merundingkannya. Kenapa kita tidak bisa seperti dulu? Bukannya kami tidak setuju TNI dan Polri itu dipisahkan, tetapi ada hal-hal yang harus diperhatikan dengan perpisahan itu. Dampaknya ya, salah satunya peristiwa semacam ini,'' ujar Ryamizard.

Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Ratyono membenarkan bahwa sejak pemisahan Polri dari TNI, terjadi peningkatan eskalasi bentrokan personel TNI/Polri. Padahal, sebetulnya jika dilihat dari sudut pandang idealisme, pemisahan TNI/Polri itu bukanlah hal yang salah.

''Karena itu dilakukan agar Polri lebih profesional dan tidak bergaya militer,'' paparnya.

Hanya saja, menurut Ratyono, seharusnya ada peninjauan yang cermat sebelum pemisahan dilakukan. Karena jika tidak, idealisme itu bakalan hanya dijadikan alasan bagi pihak-pihak tertentu yang memang berniat membenturkan aparat bersenjata.

Atas dasar pemikiran bahwa pemisahan TNI-Polri merupakan penyebab utama setiap insiden bersenjata TNI dan Polri, Ratyono mengatakan, sebaiknya ada pengaturan yang jelas untuk tugas dan fungsi TNI.

''Statemen dalam Tap MPR itu harus diperjelas, kalau mau menghentikan ribut-ribut ini. Karena dalam pernyataan itu hanya disebutkan pertahanan adalah tentara, sedangkan keamanan polisi. Ini tidak betul.

Apalagi, ada pemberian mandat yang sangat besar terhadap polisi di luar kemampuannya,'' kata Ratyono lagi.

Koreksi

Pandangan bahwa pemisahan Polri dari TNI menjadi penyebab utama terjadinya peningkatan kualitas dan kuantitas penyerangan antarpersonel dari dua institusi bersenjata yang beda, juga dipaparkan mantan Kapuspen TNI Mayjen (Purn) Suwarno Adiwijoyo.

Ditemui di kantornya, Menara Global, Jakarta, lelaki yang kini menjadi salah satu fungsionaris Partai Amanat Rakyat (PAN) itu, bahkan menegaskan bahwa seharusnya ada koreksi atas kebijakan pemisahan TNI dan Polri. Kendati demikian, Suwarno tidak menolak konsep untuk menjadikan polisi sebagai aparat penegak hukum dan penjaga ketertiban masyarakat. Hanya saja, menurut Suwarno, situasi seperti itu baru dapat dilakukan manakala sejumlah persyaratan sudah terpenuhi. Yakni, seperti dapat diproposionalkannya jumlah polisi dibanding masyarakat.

Kemudian, Suwarno mengatakan, harus ada desentralisasi Polri sebagaimana di sejumlah negara lain, termasuk Amerika. ''Di negara seperti AS, memang polisi terlepas dari tentara. Tapi, jumlahnya 200 orang per satu polisi. Artinya dia memiliki kemampuan dan tidak menggunakan TNI untuk membantu tugas-tugas polisi,'' paparnya.

Berbeda dengan itu Wakil Ketua DPR/Koordinator bidang Polkam Soetardjo Soerjogoeritno melihat persoalan lebih serderhana. Menurut dia bentrok dan konflik antara TNI dan Polri muncul karena masalah yang sangat mendasar yakni kesejahteraan. Persoalan ekonomi, agaknya menjadi pemicu konflik antara TNI dan Polri di sejumlah tempat. Entah itu persoalan membekingi lokasi perjudian, bandar narkoda, penyelundup atau hal-hal lain yang dipandang dapat memberi manfaat ekonomi. Karena itu Soetardjo berharap pimpinan TNI dan Polri mencari jalan keluar dengan memenuhi tingkat kesejahteraan prajurit secara tepat, halal, dan tidak melawan hukum.

''Mungkin karena gaji mereka rendah, sehingga anggota TNI menyiapkan dirinya sebagai beking guna memenuhi kebutuhan hidupnya,'' ujarnya.

Konflik antara TNI dan Polri tidak bisa berakhir hanya dengan memecat atau mengecam. Harus ada jalan keluar yang realistis, konkret, dan komprehensif.

-----------------------------------------------------

BENTROK DAN KONTAK SENJATA TNI DAN POLRI 2001-2002

-----------------------------------------------------

Tgl ! Tempat ! Korban

-----------------------------------------------------

24/01/01 ! Ambon ! 1 TNI tewas

-----------------------------------------------------

03/02/01 ! Desa Latta ! 1 polisi tewas,

Sirimau, Kodya 17 luka-luka

Ambon

-----------------------------------------------------

27/02/01 ! Sampit, ! 3 polisi luka

KalTeng 4 TNI luka

3 sipil tewas

----------------------------------------------------

21/04/01 ! Payosigadung, ! 1 TNI tewas

Kotabaru,

Jambi

-----------------------------------------------------

12/05/01 ! Polres Aceh ! 1 polisi tewas

Barat 2 luka tembak

-----------------------------------------------------

28/08/01 ! Serui Yapen ! 2 TNI tewas

Waropen, Papua 5 polisi luka berat

-----------------------------------------------------

02/09/01 ! Palu, Sulteng ! 1 TNI tewas

-----------------------------------------------------

15/09/01 ! Madiun ! 2 sipil tewas

20 TNI & polisi luka

-----------------------------------------------------

10/06/02 !Simalungun Sumut ! 1 Polisi luka

-----------------------------------------------------

13/07/02 ! Langkat Sumut ! 2 Polisi luka

-----------------------------------------------------

19/08/02 ! Maumere Flores ! 7 Polisi luka

2 TNI luka

------------------------------------------------------

28/09/02 ! Langkat Sumut ! 2 TNI luka

2 Polisi luka

-----------------------------------------------------

29/09/02 ! Langkat Sumut ! 6 polisi

2 Sipil tewas

1 TNI

23 luka

TNI-AU Tuntut Kesetaraan Antarangkatan

TNI-AU menilai jika TNI merupakan organisasi yang terdiri dari tiga angkatan, merupakan kewajaran jika Panglima TNI dijabat secara bergilir oleh ketiga angkatan itu.

KSAU Marsekal Chappy Hakim mengatakan hal itu dalam konferensi pers bersama Marsekal Madya Djoko Suyanto di Cilangkap, Jakarta, kemarin.

Jabatan KSAU akan diserahterimakan dari Chappy kepada Djoko hari ini di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

"Panglima TNI bisa saja dari darat, laut, dan udara. Kalau dari Angkatan Darat terus itu baik. Kalau giliran darat dan laut, itu lebih baik. Kalau giliran, darat, laut, dan udara, itu yang paling baik," ujar Chappy.

Menurut dia, Panglima TNI yang diisi secara bergiliran dari masing-masing angkatan akan memberikan optimalisasi organisasi TNI.

Sebab, sambung dia, akan menumbuhkan rasa keadilan, kesetaraan, dan saling menghormati antarangkatan.

Panglima TNI selama ini diambil dari Angkatan Darat dan sekali dari Angkatan Laut, yakni Widodo AS yang kini menjabat Menko Polhukam.

Menurut Chappy, selain mengoptimalkan organisasi gabungan ketiga angkatan, juga merupakan refleksi dari kadar intelektualitas seseorang. Dia mencontohkan, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto telah memberikan banyak terobosan dalam masalah mutasi.

Misalnya, kata dia, Kepala Staf Umum (Kasum) TNI dan Sekjen Departemen Pertahanan (Dephan) dijabat perwira tinggi TNI-AU. Keputusan Panglima TNI itu, menurutnya, merupakan tahapan dari refleksi bagaimana menyikapi rasa keadilan, rasa kebersamaan, maupun rasa saling menghormati antarangkatan. Di samping itu, dengan adanya rotasi kepemimpinan secara bergiliran akan menaikkan mutu dan kualitas dari organisasi TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU.

Namun, Chappy mengatakan, pengangkatan Panglima TNI adalah wewenang dan keputusan Presiden. Keputusan Presiden tentu sudah disertai dengan kepentingan yang terkait dengan pengangkatan tersebut. Artinya, jika nanti Panglima TNI dipilih dari TNI-AD tidak masalah.

Setelah itu, Chappy berharap, dipilih dari TNI-AL dan TNI-AU. Apabila nanti Presiden memilih Panglima TNI dari TNI-AL, juga tidak masalah.

Namun, katanya, jika Presiden memilih dari TNI-AU maka lebih tidak ada lagi masalah. Chappy yakin dalam menentukan Panglima TNI, Presiden juga mengacu kepada rambu-rambu pergantian dalam UU TNI. "Sehingga kita percaya putusan apa pun yang diambil Presiden itu keputusan terbaik," katanya.

Pada kesempatan itu, Djoko Suyanto lebih banyak memaparkan visinya. Ia mengatakan dirinya tetap akan meneruskan sejumlah konsep yang telah dirintis oleh pendahulunya, yang termuat dalam cetak biru program pembangunan kekuatan TNI-AU.

"Tapi, itu semua tentunya mempertimbangkan besarnya anggaran dari pemerintah. Program yang paling realistis untuk lima tahun adalah tidak menambah jumlah skuadron, melainkan meningkatkan kesiapannya."

Saat ini TNI-AU memiliki 7 skuadron tempur, 5 skuadron angkut, 3 skuadron helikopter, dan 3 skuadron latih. Di masa kepemimpinan Chappy Hakim, kesiapan skuadron TNI-AU berada di posisi 30%-50%.

"Mulai tahapan program 2005 sampai 2010, kami akan mengupayakan peningkatan kesiapan sampai pada titik 70%-80%. Baru pada tahapan berikutnya, kami berkeinginan untuk mengembangkan kekuatan pesawat karena memang di saat itu sudah banyak pesawat yang berusia tua," kata Djoko Suyanto.

-

TNI-AL.

Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Endiartono Sutarto mengingatkan, kebutuhan akan adanya Angkatan Laut yang kuat tidak hanya diperlukan dalam situasi perang, melainkan juga untuk menjaga kehormatan dan martabat bangsa. "TNI-AL yang besar dan kuat juga berfungsi untuk melindungi dan mengamankan sumber daya alam di laut dan juga guna mencegah terjadinya semua kegiatan ilegal dalam melindungi kepentingan nasional di laut," ujar Panglima TNI dalam amanat yang dibacakannya pada upacara serah terima jabatan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) dari Laksamana TNI Bernard Kent Sondakh kepada Laksamana Madya Slamet Soebijanto di Makoarmtim Surabaya, kemarin.

Acara sertijab dilakukan secara sederhana, tidak ada atraksi sebagaimana tradisi sebelumnya. Acara hanya diisi dengan unjuk kekuatan kapal perang yang berjejer di Selat Madura.

Hadir dalam acara itu sejumlah petinggi militer, dan Polri seperti Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar dan sejumlah mantan KSAL, seperti Laksamana (Purn) Arief Kushariadi.

Panglima juga meminta kepada jajaran TNI AL untuk selalu menjaga kekompakan dan soliditas TNI AL dengan unsur-unsur angkatan lainnya, seperti TNI AD dan TNI AU.

Selai itu, terus tingkatkan pemantapan soliditas dan kekompakan ke dalam, kekompakan dengan unsur-unsur TNI lainnya serta peningkatan kepekaan terhadap aspirasi masyarakat.

Panglima memuji kepemimpinan mantan KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh dalam memajukan TNI AL. Sejak menjabat sebagai KSAL, Laksamana Bernad kent Sondak telah berhasil meningkatkan citra dan kinerja yang membawa banyak kemajuan bagi TNI AL.

Selain itu, Laksamana Bernard juga telah banyak memberikan kontribusi yang sangat positif bagi kemajuan TNI pada umumnya. Semua prestasi itu diharapkan akan menjadi modal awal bagi pejabat baru.

''Selama kepemimpinan Bernard, memang banyak terobosan yang dilakukannya, antara lain melakukan "repowering" (pergantian mesin) terhadap kapal-kapal yang sudah tua, mengadakan kapal-kapal baru, baik melalui industri galangan kapal nasional maupun dari luar negeri,'' ujarnya.

=============================================================

Pangkalan Udara Skuadron Pesawat

=============================================================

KOOPSAU I:

------------

* Pekanbaru (PBR) Skuadron Udara 12 Hawk Mk.109

Hawk Mk.209

* Supadio (SPO) Skuadron Udara 1 Hawk Mk. 109

Hawk Mk. 209

* Halim Perdana- Skuadron Udara 2 CN235-110M

kusumah (HLP) F27-400M

Skuadron Udara 17 B707-3MIC

F27-400M

F28-1000/3000

L100-30

C-130H-30

NAS332L-1

Skuadron Udara 31 L100-30

C-130H-30

* Suryadarma (SDM) Skuadron Udara 7 Bell 47G-3B-1

Bell 204B

Satudtani PC-6 Pilatus Porter

* Atang Senjaya (ATS) Skuadron Udara 6 S-58T

NBo105CB

Bell206

H-500

BK-117

Skuadron Udara 8 SA330J

NSA330L

* Adisucipto (ADI) Skuadron Pendidikan 101 AS202/18A-3

T-41D

***

========================================================

Pangkalan Udara Skuadron Pesawat

========================================================

KOOPSAU II:

-------------

* Iswahyudi Skuadron Udara 3 F-16A

Elang Biru F-16B

Skuadron Udara 14 F-5E

F-5F

Skuadron Udara 15 Hawk Mk.53

Team Jupiter

* Abdulrachman Saleh Skuadron Udara 4 NC212M-200

(ABD) Skuadron Udara 32 C-130B

KC-130B

C-130H

Bronco Flight OV-10F

* Hasanuddin (HND) Skuadron Udara 5 B737-2X9

Skuadron Udara 11 Su-27SK

Su-30SK

A-4E

TA-4H

TA-4J

KSAU dari Masa ke Masa:

------------------------

* Laksamana Udara: Soerjadi Soerjadarma, 9/04/1946 - 19/01/1962

* Laksamana Madya: Omar Dani, 19/01/1962 - 24/11/1965

* Laksamana Muda : Sri Mulyono Herlambang, 27/11/1965 - 31/03/1966

* Laksamana Udara: Roesmin Noerjadin, 31/03/1966 - 10/11/1969

* Marsekal TNI: Soewoto Sukendar, 10/11/1969 - 28/03/1973

* Marsekal TNI: Saleh Basarah, 28/03/1973 - 4/06/1977

* Marsekal TNI: Ashadi Tjahyadi, 4/06/1977 - 26/11/1982

* Marsekal TNI: Soekardi, 26/11/1982 - 11/04/1986

* Marsekal TNI: Oetomo, 11/04/1986 - 1/03/1990

* Marsekal TNI: Siboen Dipoatmodjo, 1/03/1990 - 23/03/1993

* Marsekal TNI: Rilo Pambudi, 23/03/1993 - 15/03/1996

* Marsekal TNI: Sutria Tubagus, 15/03/1996 - 3/07/1998

* Marsekal TNI: Hanafie Asnan, 3/07/1998 - 25/04/2002

* Marsekal TNI: Chappy Hakim, 25/04/2002 - 22/02/2005

* Marsekal Madya TNI: Djoko Suyanto, S.I.P, 22/02/2005 -

------------------------------------------------------

***

-------------------------------------------

Program Pembangunan dan Modernisasi TNI-AU

-------------------------------------------

* Tahap I (2005-2009) Anggaran yang dibutuhkan: US$2.704.850.000

1. Mengoptimalkan peralatan utama sistem persenjataan (alutsista)

yang ada.

2. Pengadaan pesawat Sukhoi untuk memenuhi 1 skadron pengganti

pesawat A-4 Skyhawk.

3. Pengadaan 1 skadron helikopter Super Puma NAS-332 pengganti heli

T-58.

4. Lanjutan pengadaan CN-235 melengkapi skadron Intai.

5. Pengadaan 5 satbak PSU pengganti Triple Gun.

6. Pengadaan 5 unit radar.

7. Pengadaan 2 unit pesawat C-130H melengkapi 1 skadron.

8. Pengadaan 1 simulator heli Super Puma.

9. Pengadaan pesawat KT-IB melengkapi 1 skadron.

------------------------------

* Tahap II (2010-2014) Anggaran yang dibutuhkan: US$5.273.200.000

1. Mengoptimalkan alutsista yang ada minimal 75% dari kekuatan.

2. Pengadaan 1 skadron pesawat C-130 atau setingkat untuk pengganti

C-130B.

3. Pengadaan 1 skadron pesawat angkut ringan CN-235 atau setingkat.

4. Pengadaan 1 skadron tempur pesawat Sukhoi atau setingkat.

5. Pengadaan 1 skadron heli latih.

6. Pengadaan 1 pesawat B-737-600 melengkapi skadron VIP.

7. Pengadaan 1 skadron pesawat Coin pengganti OV-10.

8. Pengadaan 8 unit radar untuk peremajaan radar lama.

9. Lanjutan pengadaan PSU dan persenjataan organik Korpaskhas.

Kecil, Muncul 'Kuda Hitam' untuk Panglima TNI

Peluang munculnya 'kuda hitam' calon Panglima TNI di luar dua nama yang disebut-sebut, yakni Jenderal TNI Endriartono Sutarto (KSAD) dan Jenderal TNI Tyasno Sudarto (mantan KSAD), yang akan menggantikan pejabat saat ini Laksamana TNI Widodo AS, kecil kemungkinannya terjadi.

"Akan munculnya 'Kuda hitam' di luar kedua nama tersebut terlihat kecil kemungkinannya terjadi. Ini karena TNI kini sedang solid-solidnya," kata peneliti politik-militer Puslitbang Politik dan Kewilayahan (PPW) LIPI Sri Yanuarti di Jakarta, Jumat.

Ia diwawancarai Antara berkaitan dengan munculnya wacana bakal ada 'kuda hitam', jika terjadi tarik-menarik yang kuat antara kubu Endriartono Sutarto dan Tyasno Sudarto.

Pergantian Laksamana Widodo AS belakangan ini lebih hangat lagi tatkala media massa mulai menampilkan analisis baru bahwa Presiden Megawati Soekarnoputri saat ini dalam posisi bingung atas tarik-menarik pada dua nama yang mengerucut.

Lantas, muncullah wacana perlunya 'kuda hitam'. Dan, yang disebut-sebut sebagai 'kuda hitam' itu adalah Kasum TNI Letjen Djamari Chaniago, guna menghindari persaingan dua nama yang dimaksud.

Analisis yang ada, guna memenuhi syarat untuk calon Panglima TNI, maka Letjen Djamari Chaniago akan menjadi KSAD. Karena, menurut aturan main yang disepakati DPR, yang berhak menjadi kandidat Panglima TNI harus pernah menjadi kepala staf angkatan, baik KSAD, KSAU, atau KSAL.

Menurut Sri Yanuarti, pola mengambil 'kuda hitam' dari tarik-menarik jabatan strategis di TNI itu memang pernah terjadi di era pemerintahan KH Abdurrahman 'Gus Dur' Wahid, dalam mengisi jabatan KSAD menggantikan pejabat sebelumnya saat itu, Jenderal Tyasno Sudarto.

Saat itu, Gus Dur dilaporkan menjagokan (Alm) Letjen Agus Wirahadikusumah, namun hal ini ditentang di kalangan TNI-AD, sehingga muncullah alternatif lain, yakni Letjen (saat itu) Endriartono Sutarto.

Sedangkan Panglima TNI Laksamana Widodo AS, ketika disinggung mengenai pergantian itu, mengatakan jajaran pimpinan TNI konsisten untuk menerapkan prinsip-prinsip kaderisasi dan regenerasi.

"Soal pergantian Panglima TNI, itu adalah wujud konsistensi jajaran pimpinan TNI untuk menerapkan prinsip-prinsip kaderisasi dan regenerasi sebagai bagian dari sistem pembinaan personel TNI," tandas Panglima seusai mengikuti rapat koordinasi tingkat menteri bidang politik dan keamanan, kemarin.

Ditanya tentang dua nama yang santer dibicarakan bakal menjadi pengganti Panglima TNI, yakni KSAD Jenderal Endriartono Sutarto dan Jenderal Tyasno Indarto yang diajukannya ke Presiden, Widodo hanya berujar singkat," Lihat saja nanti seperti apa."

Menanti sang Panglima

PENGANTAR: Wacana sosok perwira tinggi (pati) yang bakal dipercaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Panglima TNI bergulir kian tajam. Hal itu seiring dengan dilakukannya proses pengajuan satu nama calon ke DPR oleh Presiden. Bagaimana sesungguhnya proses pengangkatan Panglima TNI pengganti Jenderal Endriartono Sutarto? Kami mengulasnya pada halaman 13, 14, dan 15.

PROSES pergantian Panglima TNI yang kini tengah berlangsung sebenarnya mulai mencuat sejak 15 bulan silam. Berawal dari pengajuan surat permohonan pengunduran diri Jenderal Endriartono Sutarto selaku Panglima TNI kepada Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 September 2004. Alasan Endriartono, karena usianya sudah lebih dari 57 tahun.

Menanggapi surat Endriartono, pada 8 Oktober 2004, Megawati melayangkan surat resmi bernomor R32/Pres/X/2004 kepada DPR. Dalam surat perihal rencana pemberhentian dan pengangkatan Panglima TNI itu, Megawati yang ketika itu masih memiliki hak prerogatif sekaligus menyerahkan nama calon Panglima TNI pengganti Jenderal Endriartono, yakni Kepala Staf AD Jenderal Ryamizard Ryacudu.

Pengajuan nama calon Panglima TNI itu mendapat respons positif dari DPR secara aklamasi. Anggota dewan memutuskan untuk menindaklanjuti permohonan Presiden tersebut.

Namun, belum lagi dewan sempat melaksanakan niatnya, Presiden terpilih hasil Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono, melayangkan surat permohonan lain kepada DPR. Isi surat bernomor R41/Pres/X/2004 tertanggal 26 Oktober itu berkisar tentang keputusan Presiden Yudhoyono untuk menarik surat Presiden Megawati tentang pemberhentian dan pengangkatan Panglima TNI.

Dalam suratnya, Presiden Yudhoyono beralasan dirinya belum berencana mengganti Endriartono dari jabatannya sebagai Panglima TNI dalam waktu dekat. "Keputusan ini tidak terkait dengan persoalan pribadi, baik dengan Endriartono maupun Ryamizard," papar Presiden dalam surat tersebut.

Kontan dewan bereaksi. Sebagian dari mereka ketika itu menilai Presiden Yudhoyono telah melakukan langkah yang tidak semestinya.

Dewan bahkan memutuskan untuk menggunakan hak interpelasi, menyusul tidak hadirnya Ryamizard untuk menjalani proses uji kelayakan (fit n proper test) pada 8 November 2004.

Bagi internal armada perang Indonesia, pergantian Panglima TNI memiliki semangat yang sama seperti dalam proses pergantian jabatan pati lainnya. Yakni, di antaranya agar terjadi proses regenerasi sehingga organisasi TNI terhindar dari ketegangan sistemik. Lazimnya, proses pergantian pimpinan berjalan seiring dengan upaya untuk mewujudkan harapan atas bentuk organisasi yang ideal. Sehingga biasanya, sang calon pemimpin berusaha mendekatkan visi dan misi dengan gambaran ideal tersebut.

Saat ini ada empat pati bintang empat yang memenuhi syarat menjadi Panglima TNI. Yakni, Kepala Staf AD Jenderal Djoko Santoso, Kepala Staf AL Laksamana Slamet Soebijanto, Kepala Staf AU Marsekal Djoko Suyanto, dan mantan Kepala Staf AD Jenderal Ryamizard.

Dalam pergantian Panglima TNI yang dilakukan di era reformasi ini, kehadiran sosok reformis tentu menjadi syarat mutlak. TNI yang tengah melakukan reformasi internal dengan mengibarkan sejumlah paradigma baru tentu tidak bisa dipimpin seorang yang selalu berkiblat pada masa lalu.

Siapa pun sosok calon yang diajukan Presiden ke DPR, bakal mengemban misi sangat krusial, yakni menjaga dan menyempurnakan komitmen reformasi di tubuh TNI. Muncul pula harapan agar TNI ke depan bisa lebih profesional dan menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Menurut salah satu Direktur Imparsial, Otto Syamsudin Ishak, tidak cukup hanya sosok yang memiliki komitmen menegakkan HAM di masa depan, tetapi juga harus bebas dari pelanggaran HAM di masa lalu. Sedangkan pengamat pertahanan dari Universitas Indonesia, Andi Widjayanto, memaparkan empat pertimbangan yang bisa digunakan Presiden Yudhoyono. Pertama, pertimbangan idiosinkratik yang didasari pada karakter dan hubungan personal antara calon Panglima TNI dan Presiden Yudhoyono. Namun, Andi berharap pertimbangan ini tidak akan mendominasi rasionalitas pemilihan.

Kedua, pertimbangan politik yang muncul berdasarkan asumsi adanya kesepahaman politik antara Presiden dan DPR pascapolemik pencabutan surat pengusulan Ryamizard sebagai Panglima TNI. Jika pertimbangan politik mendominasi kalkulasi strategis, Presiden Yudhoyono secara rasional cenderung akan menghindari terbukanya kemungkinan konfrontasi politik dengan DPR (terutama dengan Fraksi PDIP), yakni dengan tetap mengusulkan nama Ryamizard. Walaupun bisa saja ia memilih nama lain dengan dukungan dari Partai Golkar yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pertimbangan lain yang diambil Presiden Yudhoyono bisa terkait dengan aturan yang berlaku saat ini. Dalam UU TNI disebutkan jabatan Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian di antara tiga angkatan. Sebagai catatan, hanya matra udara yang belum pernah menduduki pucuk pimpinan TNI.

Pertimbangan keempat, pertimbangan yang ditekankan pada masalah strategi pertahanan. Lewat pertimbangan itu, Presiden akan diarahkan untuk memilih calon yang dapat menyeimbangkan kebutuhan penuntasan reformasi militer dengan kebutuhan inisiasi transformasi postur pertahanan negara.

Pada akhirnya, semua itu memang terpulang pada diri Presiden Yudhoyono untuk menafsirkan amanat UU TNI yang secara eksplisit menyebutkan, pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dilakukan atas dasar kepentingan organisasi TNI.

------------------------------------

Kontroversi Pencalonan Panglima TNI

------------------------------------

* - 8 Oktober 2004: Megawati mengirim surat nomor R32/Pres/X/2004 kepada DPR tentang pemberhentian dan pengangkatan Panglima TNI. Melalui surat itu ia meminta persetujuan DPR atas pengunduran diri Jenderal Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI dan mengajukan Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai penggantinya.

* - 15 Oktober 2004: Pimpinan DPR menerima surat Megawati itu dan selanjutnya meneruskan ke Komisi I yang membidangi masalah pertahanan untuk pembahasan lebih lanjut di DPR.

* - 26 Oktober 2004: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirim surat kepada DPR yang bernomor R41/Pres/X/2004 perihal pencabutan surat Megawati. Presiden menyatakan belum berencana mengganti Jenderal Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI dalam waktu dekat ini.

* - 27 Oktober 2004: DPR menetapkan untuk tetap memproses surat terdahulu dan mengabaikan surat penarikan yang diajukan Presiden Yudhoyono. DPR bahkan mengancam akan menginterpelasi Presiden. Bahkan sempat berkembang polemik yang menyatakan secara de jure jabatan Panglima TNI dipegang Jenderal Ryamizard.

* - 17 Februari 2005: Jenderal Endriartono Sutarto kembali mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Panglima TNI. Kali ini ditujukan kepada Presiden Yudhoyono.

* - 5 September 2005: DPR melayangkan surat kepada Presiden Yudhoyono untuk segera menyerahkan nama calon Panglima TNI pengganti Jenderal Endriartono.

* - 12 September 2005: Presiden melayangkan surat balasan kepada Ketua DPR. Isi surat itu menyatakan Panglima TNI saat ini akan terus memegang jabatannya dan belum akan melakukan pergantian. Ia masih diperlukan untuk menyelesaikan konflik di Aceh, terutama untuk menyukseskan penyerahan dan pemusnahan senjata GAM, 15 September hingga 31 Desember 2005, sesuai dengan nota kesepahaman RI-GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005.

* - Akhir Desember 2005: Presiden Yudhoyono memberikan kepastian rencana penggantian Panglima TNI.

* - Panglima TNI mencalonkan empat perwira tinggi TNI, yakni KSAD Jenderal Djoko Santoso, KSAL Laksamana Slamet Soebijanto, KSAU Marsekal Djoko Suyanto, dan mantan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, untuk menggantikannya sebagai Panglima TNI.

Selasa, 27 November 2007

Merenungi Makna Keputusan SBY

Puzzle pergantian Panglima TNI mulai menemukan bentuknya. Jika pada beberapa pekan belakangan muncul pertanyaan apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mempertahankan Marsekal Djoko Suyanto sebagai Panglima TNI? Kini pihak istana Kepresidenan telah memberikan jawaban tentang itu.

Melalui Juru Bicara Kepresidenan Andi Malarangeng,Presiden menyatakan bahwa tidak akan memperpanjang masa jabatan Djoko Suyanto. Hal itu, masih dituturkan Andi, seiring dengan aturan baru tentang pergantian Panglima TNI yang dimuat dalam pasal 13 UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.

Seiring dengan itu, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi juga memaparkan bahwa dalam waktu dekat Presiden akan mengajukan nama calon panglima pengganti Djoko Suyanto ke DPR.Ada kemungkinan, nama itu sudah akan diajukan pada awal pekan depan.

Sebagian anggota dewan sendiri memang berharap, nama itu sudah masuk ke DPR sebelum masa reses yang jatuh pada 8 Desember 2007.

Sekilas, skenario pergantian Panglima TNI kali ini berjalan dengan mulus. Baik respons Presiden maupun DPR bak saling bersambut. Sejauh ini, tidak muncul perdebatan ataupun kontroversi yang menajam dan ataupun situasi yang memanas seperti pada pergantian sebelumnya.

Kontroversi ketika itu muncul akibat ada dua kewenangan yang berkuasa dalam waktu nyaris bersamaan. Yakni kewenangan yang dimiliki mantan Presiden Megawati dan Presiden Yudhoyono, dalam menentukan calon panglima TNI pilihan.

Nama Jenderal Ryamizard Ryacudu sempat mampir ke Senayan, setelah diajukan oleh Megawati sebagai pengganti Jenderal Endriartono Sutarto, yang kala itu menjabat sebagai Panglima TNI. Namun belum lagi proses bergulir sebagaimana mestinya, Presiden Yudhoyono menganulir keputusan pendahulunya dengan menarik pencalonan Ryamizard.

Situasi sekarang, sungguh jauh berbeda. Pada pencalonan kali ini, Presiden Yudhoyono memiliki kendali penuh untuk menggunakan hak prerogatifnya.Namun benarkah dalam situasi sekondusif sekarang, proses pergantian Panglima TNI kali ini akan jauh dari perdebatan dan kontroversi?

Mengingat, susunan puzzle belumlah utuh. Sejumlah pertanyaan yang belum terjawab masih berlomba untuk mencuat kepermukaan. Seperti, apakah Presiden akan mengedepankan semangat penggiliran angkatan, apakah presiden akan menjadikan momen pemilu sebagai alasan terkuat dalam pemilihan sosok Panglima TNI, atau apakah presiden juga akan mempertimbangkan soliditas TNI terkait dengan tradisi senioritas?

Berdasarkan UU TNI Pasal 13, ayat 4 disebutkan bahwa ‘Jabatan Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.

Berdasarkan isi pasal tersebut, maka saat ini tercatat 4 nama perwira tinggi TNI yang memenuhi criteria sebagai calon Panglima TNI. Mereka adalah KSAD Jenderal Djoko Santoso, KSAL Laksamana Madya Sumardjono, KSAU Marsekal Herman Prayitno, dan mantan KSAL Laksamana Slamet Soebijanto.

Dari keempat nama tersebut, dua nama di antaranya, yakni Herman Prayitno dan Slamet Soebijanto merupakan rekan seangkatan Presiden Yudhoyono. Keduanya merupakan lulusan Akabri tahun 1973.

Namun jika dilihat dari usia, maka Marsekal Herman Prayitno adalah kandidat calon Panglima TNI yang paling dulu akan pension. Sesuai aturan di internal TNI, Herman yang berulang tahun pada 7 Januari 2008, sudah akan menyelesaikan masa tugasnya terhitung sejak 1 Februari 2008.

Dengan demikian, jika proses pergantian Panglima TNI berlangsung pada awal tahun 2008, maka peluang Herman akan menipis. Bisa dibayangkan betapa sulitnya jika Presiden dalam waktu satu bulan harus menemukan calon pengganti Herman.

Seperti dituturkan Andi Malarangeng saat memberi penjelasan soal sikap Presiden terkait pergantian Panglima TNI, beberapa waktu lalu, bila Panglima TNI memasuki masa pension, maka harus sudah disiapkan penggantinya.

Kenyataan bahwa Panglima TNI sekarang berasal dari matra yang sama dengan Herman, juga kian menutup peluangnya. Sehingga, memilih Herman bisa dicitrakan sebagai keputusan yang tidak menjunjung semangat penggiliran angkatan.

Calon kandidat Panglima TNI berikutnya adalah Slamet Soebijanto, mantan KSAL. Sebagai perwira tinggi aktif, Slamet disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat untuk menduduki kursi Panglima TNI periode mendatang.

Slamet merupakan perwira tinggi senior yang masih memiliki masa tugas yang cukup panjang hingga 1 Juli 2008. Menempatkan Slamet sebagai Panglima TNI, akan menjadi keputusan yang berpihak pada semangat penggiliran angkatan. Tentunya, keputusan reformis itu akan memperkecil penolakan di kalangan politisi Senayan.

Hanya saja, perlu diingat, mulus tidaknya perjalanan Slamet menuju posisi puncak pimpinan TNI, tidak bisa dilepaskan dari kisah dibalik pengeseran dirinya dari jabatan KSAL. Jika benar rumor yang menyebut adanya ketidakharmonisan antara dirinya dengan pejabat di Mabes TNI.

Calon kandidat Panglima TNI lainnya adalah KSAL Laksamana Madya Sumardjono. Nama Sumardjono sempat didengung-dengungkan menjadi calon kuat Panglima TNI karena dia merupakan calon kandidat dari angkatan 1974.

Adanya Panglima TNI dari angkatan ini, seolah menjadi jembatan penghubung antara Panglima dari angkatan sebelumnya ke Panglima TNI angkatan setelahnya. Sebagaimana diketahui, dari keempat calon kandidat Panglima TNI, tercatat nama Djoko Santoso, yang berasal dari Akmil 1975.

Nama Djoko Santoso sebenarnya telah meroket dalam bursa pemilihan Panglima TNI, sejak satu periode lalu. Ketika itu, nama Djoko bahkan sempat disandingkan sebagai competitor Panglima TNI sekarang, Djoko Suyanto, dan juga seniornya di TNI-AD Jenderal Ryamizard Ryacudu.

Dalam pencalonan Panglima TNI periode sekarang, boleh dikatakan, peluang Djoko Santoso sebagai Panglima TNI masih sulit ditandingi oleh calon kandidat lainnya.

Banyak kalangan meyakini, besarnya peluang Djoko Santoso lebih dikaitkan dengan momentum Pemilu yang akan digelar pada 2009. Sebab tak dapat dipungkiri, para perwira TNI-AD memiliki ‘jam terbang’ dalam menghadapi berbagai situasi politik di Indonesia.

Kedekatan Djoko Santoso dengan Presiden yang terjalin sejak Presiden Yuhoyono menjabat sebagai Kassospol ABRI juga disebut sebagai factor yang berpengaruh dalam pencalonan tersebut.

Puzzle teka-teki sosok Panglima TNI seutuhnya memang sepenuhnya berada di genggaman Presiden Yudhoyono. Tapi, siapapun yang pada akhirnya menjadi pilihan Presiden Yudhoyono, tidak hanya akan berpengaruh pada masa depan TNI, namun juga dipastikan akan turut menentukan masa depan bangsa.